UNSUR RIBA PADA PRODUK
PERBANKAN SYARIAH
Erni Mulyani
FSH UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
Abstrak :
Riba adalah
penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan
persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam. Riba dapat terjadi pada segala
jenis transaksi termasuk transaksi pada produk bank syariah. Meskipun bank
syariah memiliki label syariah termasuk pada segala jenis produknya yang
artinya sesuai dengan syariat islam bukan berarti dalam prosesnya benar-benar
sesuai dengan syariah untuk itu pentinganya bagi setiap individu mengetahui
produk apa saja pada bank syariah yang masih jauh dari sistem syariah dalam
proses pelaksanaannya agar umat muslim khusunya tidak terjebak pada transaksi
yang mengandung unsur riba yang telah diharamkan oleh Allah swt.
Kata kunci: riba, bank, syariah, transaksi
A.
Pendahuluan
Perbankan syariah merupakan bank yang dalam pelayanannya memberikan
layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga
dilarang dalam semua bentuk transaksinya. Islam melarang kaum muslim menarik
atau membayar bunga (riba). Pelarangan inilah yang menjadi pembeda antara bank
syariah dan bank konvensional. Secara teknis riba merupakan tambahan pada
jumlah pokok pinjaman sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan jumlah
pinjamannya.
MUI dengan jelas telah memfatwakan bahwa bunga bank telah memenuhi
kriteria riba sehingga haram hukumnya. Keharaman ini secara otomatis melekat
bagi sisapapun dan lembaga keuangan apapun yang menerapkan bunga dalam
operasionalnya. Bunga bank menjadi beban nasabah yang mengharuskan bisnisnya
selalu untung dan menjadi dasar bagi perbankan untuk meraup keuntungan dari
nasabahnya. Walaupun seharusnya
mempertimbankan juga aspek bisnis yang
mengalami fluktuasi untung dan rugi. Keuntungan tidak harus didapati dari
penerapan bunga, justru dengan nprinsip adil dan transparan dalam bermuamalah
semua pihak akan tetap mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
Riba yang diterapkan oleh sistem perbankan konvensional telah
menggurita dan menjadi rujukan bagi operasional bank syariah dalam mendapatkan
keuntungan bisnisnya. Sementara penerapan kaidah-kaidah syariah islam di
perbankan syariah selama ini masih memunculkan keraguan bagi sebagian besar
umat, terutama mereka yang bermuamalah secara langsung. Label-label syariah
dari produk yang ditawarkan perbankan syariah hanya menjadi pembungkus agar
produk tersebut bisa diterima oleh umat. Namun secara nyata semua produk tersebut masih bermasalah dan bertentangan
dengan syariat islam. Untuk itu penulis membuat artikel ini dengan judul Unsur
Riba pada Produk Bank Syariah untuk mengetahui apa saja dari produk
perbankan syariah yang masih mengandung riba pada proses operasionalnya.
B.
Pembahasan
a.
Pengertian
Bank Syariah dan Riba
Kata bank
dapat kita telusuri dari kata banque bahasa Prancis, dan dari banco
dalam bahasa Italia, yang dapat berarti peti atau lemari atau bangku. Konotasi
kedua ini menjelaskan dua fungsi dasar yang ditunjukkan oleh bank komersial. Kata
peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda
berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya. Dewasa ini
peti bank berarti portepel aktiva yang menghasilkan (portfolioof earning
assets), yaitu portofolio yang memberi bank “darah kehidupan” bernama laba
bersih setelah pengeluaran-pengeluaran dan pajak.[1]
Perbankan
syariah (Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang
pelaksanaanya berdasarkan hukum islam (syariah).[2] Bank
syariah didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan
prinsip-prinsip islam, syariah dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan
perbankan serta bisnis lain yang terkait. Prinsip utama yang diikuti oleh bank
islami itu adalah (a) Larangan riba dalam berbagai transaksi; (b) Melakukan
kegiatan usaha san perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang asli; (c) Memberikan
zakat.[3]
Riba secara etimologi berasal dari Bahasa Arab yang memiliki arti
pertambahan, kelebihan, pertumbuhan, atau peningkatan. Riba berasal dari akar rab’a
yang artinya menambah (atau melebihi), sementara ribh berasal dari
akar rabiha yang artinya memperoleh (atau untung) Said dalam buku Mervin
dan Lativa, Perbankan Syariah mengatakan bahwa akar r-b-w dalam Al-Quran
memiliki pengertian tumbuh, bertambah, naik bengkak, meningkat, dan menjadi
besar dan tinggi. Kata juga digunakan dalam pengertian bukit kecil. Semua
penggunaan ini nampak memiliki satu makna yang sama yakni pertumbuhan, baik
secara kualitas maupun kuantitas. [4]
Riba biasa diterjemahkan [dalam bahasa Inggris] sebagai usuary
(setiap tambahan atau bunga yang terlalu tinggi atas pokok pinjaman), seperti
dalam terjemahan yang disampaikan kepada Raja Fahd dari Arab Saudi oleh
Presiden Islamic Researches: ‘Hal itu karena mereka mengatakan: “Jual-beli itu
mengharamkan riba...” (Q.S. al-Baqarah:275). Riba secara formal dapat didefinisikan
sebagai suatu keuntungan moneter tanpa ada nilai imbangan yang ditetapkan untuk
salah satu dari dua pihak yang mengadakan kontrak dalam pertukaran dua nilai
moneter.
b.
Hukum Riba
pada Bank Syariah
Prinsip umum hukum islam yang berdasarkan pada sejumlah surah dalam
Alquran, menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri dengan cara tidak benar,
atau menerima keuntungan tanpa memberikan nilai timbangan, secara etika
dilarang.
Konsep riba tidak terbatas pada bunga. Dikenal dua bentuk riba
dalam hukum islam. Yaitu, riba al-qarud yang berhubungan dengan tambahan
atas pinjaman, dan riba al-buyu yang berhubungan dengan tambahan atas
jual-beli. Riba al-buyu ada dua
bentuk yaitu riba al-fadl yang meliputi pertukaran secara bersamaan dari
komoditas yang sama, dan riba
an-nasai yang meliputi pertukaran
secara tidak bersamaan dari komoditas yang sama yang memiliki kualitas
dan kuantitas yang sama. Kelebihan dalam kuantitas maupun penundaan dalam
pelaksanaan, dua-duanya dilarang.
Riba al-qarud, bunga pinjaman, meliputi bahan
atas pinjaman yang bertambah seiring dengan berjalannya waktu, dengan kata lain
merupakan pinjaman berbunga, dan kadang-kadang disebut sebagai riba an-nasai,
tambahan karena menunggu. Riba ini muncul apabila peminjam harta orang lain,
apa pun bentuknya, dibebani oleh si pemberi pinjaman untuk membayar suatu
tambahan tertentu di samping pokok pinjaman pada saat pelunasan. Jika tambahan
itu ditetapkan sebelumnya pada awal transaksi sebagai suatu jumlah tertentu,
dengan cara bagaimanapun pertambahan ini terjadi, maka pinjaman itu menjadi
pinjaman ribawi. Pelarangan diperluas ke semua bentuk pinjaman dan utang yang
memberikan tambahan kepada si kreditur.
Tidak bisa disangkal bahwa semua bentuk riba dilarang mutlat
oleh Alquran, yang merupakan sumber pokok hukum islam. Dengan demikian pula,
dalam beberapa hadis, sebagai sumber paling otoritatif berikutnya, Nabi
Muhammad saw. Mengutuk orang yang memungut riba, orang yang membayarnya, orang
yang menuliskan perjanjiannya, dan orang yang menyaksikan persetujuannya. Namun
demikian, meskipun perintahnya jelas, sebagian ulama mempersoalkan kondisi yang
melatarbelakangi pelarangan dalam Alquran dan bertanya-tanya apakah keberatan
terhadap riba berlaku (atau harus berlaku) degan ketegasan yang sama dengan
saat ini. Fazlur Rahman (1964), khususnya, menyatakan pandangan tidak setuju
mengenai ketidakpedulian terhadap kajian tentang apa itu riba dilihat
secara historis, mengapa Alquran mentah-mentah melarangnya, dan fungsi bungan
bank dalam perekonomian modern.[5]
Sebenarnya landasan para fuqaha (ahli fiqih) dalam menetapkan hukum
riba ialah Al-Quram sendiri dalam firmanNya[6]:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yangg belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Al Baqarah 278)
“..Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al Baqarah 279)
Ayat diatas jelas-jelas menyatakan bahwa selebihnya dari pokok harta
adalah riba, baik sedikir maupun banyak. Menetapkan riba yang diharamkan
Al-Quran sebenarnya tidak perlu di uraikan panjang lebar. Yang jelas, tidak
mungkin Allah mengharamkan sesuatu hal kepada hambanya dan mengancam
mereka dengan siksaan yang paling keras
atas perbuatan bila mereka tidak mengetahuinya.
c.
Produk Bank
Syariah
Bank
Syariah memiliki peran sebagai lembaga immediary antara orang/lembaga/badan
yang mengalami kelebihan dana (surplus units) dengan orang/lembaga/badan
yang mengalami kekurangan dana (deficit units). Secara umum produk-produk
perbankan syariah terbagi menjadi tiga bagian diantaranya yaitu :
1.
Produk
penghimpun dana ( funding)
2.
Produk
penyaluran dana (financing)
3.
Produk jasa (srvice)[7]
Produk penghimpun dana dalam bank syariah dapat dilakukan dengan dua prinsip diantaranya
adalah prinsip Al-Wadiah dan prinsip Mudharabah. Adapaun penjelasan dari keduan prinsip diatas
sebagai berikut:
Prinsip
Al-Wadiah
Wadiah menurut Peraturan Bank
Indonesia nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran
DanaBagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha berdasarkan Prinsip Syariah, adalah penitipan dana atau barang dari
pemilik dana atau barang pada penyimpanan dana atau barang dengan kewajiban
pihak yang menerima titipan untuk mengembalikan dana atau barang tiitpan
sewaktu-waktu. Wadiah merupakan suatu amanah bagi orang yang dititipkan dan dia
berkewajiban mengembalikannya pada saat pemiliknya meminta kembali.
Landasan syariah
tentang Akad Wadiah terdapat dalam Al-Quran dan Al-Hadist diantaranya adalah:
Al-Quran
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku degan suka sama
suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; seseungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu” Qs: An-Nisaa, Ayat:
29
Al-Hadist
“Abu Hurairoh diriwayatkan bahwa
Rasullallah saw bersabda, sampaikanlah kepada (tunaikanlah) amanat kepada yang
berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang menghianatimu”
HR Abu Dawud
Akad dengan pola titipan dibagi menjadi dua bagian
yaitu: Wadiah yad al-amanah dan Wadiah yad adh-dhamanah. Wadiah yad
al-amanah adalah titipan dari pihak yang diberi amanah, aset atau uang yang
dititip harus dijaga dengan sebaik-baiknya dan dikembalikan kapas saja pemilik
menghendaki. Dengan prinsip ini pihak yang menerima simpanan tidak boleh
menggunakan atau memanfaatkan aset atau uang yang dititipkan melainkan hanya
menjaganya. Selain itu aset atau uang yang dititipka tidak boleh
dicampuradukkan dengan aset atau uang lain. Wadiah yad adh-dhamanah merupakan
titipan murni dari pihak penitip yang mempunyai aset atau uang kepada pihak
penyimpanan yang diberi amanah, aset atau uang yang dititip harus dijaga dengan
sebaik-baiknya dan dikembalikan kapan saja pemilik menghendakinya. Namun pada
prinsip Wadiah yad adh-dhamanah pihak perbankan syariah boleh menggunakan
dan memanfaatkan aset atau uang yang dititipkan. Artinya, pihak perbankan syariah telah mendapat izin
dari pihak penitip untuk menggunakan aset atau uang tersebut. Dengan prinsip
ini perbankan syariah boleh mencampur aset atau uang milik penitip dengan
tujuan untuk menjalankan operasional (penghimpunan, penyaluran dana dan jasa)
perbankan syariah. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk tujuan produktif
mencari keuntungan. Manajemen perbankan syariah diperbolehkan memberikan bonus
kepada penitip, dengan prinsip bonus tidak diperjanjikan diawal akad.
Prinsip
Mudharabah
Dalam
prinsip mudharabah, penyimpanan atau deposan
bertindak sebagai pemilik modal sedangkan bank bertindak sebagai
pengelola. Dana yang tersimpan kemudian oleh bank digunakan untuk melakukan pembiayaan, dalam
hal ini apabila bank menggunakannya untuk pembiayaan mudharabah, maka bank
bertanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi. Berdasarkan kewenangan
yang dibrikan oleh pihak penyimpan, maka prinsip mudharabah dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu :
·
Mudharabah
mutlaqah: prinsipnya dapat berupa tabungan dan deposito, sehingga ada 2 jenis
yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Tidak ada pemabatasan bagi
bank untuk menggunakan dana yang telah terhimpun.
·
Mudharabah
muqayyadah on balance sheet: jenis ini adalah simpanan khusus dan pemilik dapat
menetapkan syarat-syarat khusus yang harus dipatuhi oleh bank, sebagai contoh
disyaratkan untuk bisnis tertentu, atau untuk akad tertentu.
·
Mudharabah
muqayyadah off balance sheet:Yaitu penyaluran dana langsung kepada pelaksana
usaha dan bank sebagai perantara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pelaksana
usaha juga dapat mengajukan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi bank uutuk
menentukan jenis usaha dan pelaksana usahanya.
Adapun
produk bank syariah yang berupa penyaluran dana antara lain terdiri dari
berbagai prinsip yaitu :
Prinsip
Jual Beli (Ba’i)
Prinsip Jual Beli (Ba’i) Jual beli dilaksanakan karena adanya
pemindahan kepemilikan barang. Keuntungan bank disebutkan di depan dan termasuk
harga dari harga yang dijual. Terdapat 3 jenis jual beli dalam pembiayaan modal
kerja dan investasi dalam bank syariah, yaitu:
Ba’i
Al Murabahah Jual beli dengan harga asal ditambah
keuntugan yang disepakati antara pihak bank dengan nasabah, dalam hal ini bank
menyebutkan harga barang kepada nasabah yang kemudian bank memberikan laba
dalam jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ba’i Assalam Dalam jual
beli ini nasabah sebagai pembeli dan pemesan memberikan uangnya ditempat akad
sesuai dengan harga barang yang dipesan dan sifat barang telah disebutkan
sebelumnya. Uang yang tadi diserahkan menjadi tanggungan bank sebagai penerima
pesanan dan pembayaran dilakukan dengan segera. Ba’i Al Istishna
Merupakan bagian dari Ba’i Asslam namun ba’i al ishtishna biasa digunakan dalam
bidang manufaktur. Seluruh ketentuan Ba’i Al Ishtishna mengikuti Ba’i Assalam
namun pembayaran dapat dilakukan beberapa kali pembayaran.
Prinsip Sewa (Ijarah)
Prinsip Sewa (Ijarah) Ijarah adalah kesepakatan
pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui sewa tanpa diikuti pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa. Dalam hal ini bank meyewakan peralatan kepada
nasabah dengan biaya yang telah ditetapkan secara pasti sebelumnya.
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah) Dalam prinsip bagi
hasil terdapat 2 macam produk, yaitu: Musyarakah adalah salah satu
produk bank syariah yang mana terdapat 2 pihak atau lebih yang bekerjasama untuk
meningkatkan aset yang dimiliki bersama dimana seluruh pihak memadukan sumber
daya yang mereka miliki baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Dalam
hal ini seluruh pihak yang bekerjasama memberikan kontribusi yang dimiliki baik
itu dana, barang, skill, ataupun aset-aset lainnya. Yang menjadi ketentuan
dalam musyarakah adalah pemilik modal berhak dalam menetukan kebijakan usaha yang
dijalankan pelaksana proyek.
Mudharabah adalah kerjasama dua
orang atau lebih dimana pemilik modal memberikan mempercayakan sejumlah modal kepada
pengelola dengan perjanjian pembagian keuntungan. Perbedaan yang mendasar
antara musyarakah dengan mudharabah adalah kontribusi atas manajemen dan
keuangan pada musyarakah diberikan dan dimiliki 2 orang atau lebih, sedangkan pada
mudharabah modal hanya dimiliki satu pihak saja.
Selain dapat melakukan
kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana, bank juga dapat memberikan jasa
kpd nasabah dengan mendapatan imbalan berupa sewa atau keuntungan, jasa
tersebut antara lain; Sharf (Jual Beli Valuta Asing) adalah jual beli
mata uang yang tidak sejenis namun harus dilakukan pada waktu yang sama (spot).
Bank mengambil keuntungan untuk jasa jual beli tersebut. Dan Ijarah
(Sewa) Kegiatan ijarah ini adalah menyewakan simpanan (safe deposit box) dan
jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian), dalam hal ini bank
mendapatkan imbalan sewa dari jasa tersebut.
d. Produk yang Memiliki Unsur Riba pada
Operasionalnya.
Pada produk
penghimpun dana ( funding), ada istilah wadiah atau titipan, meskipun
pada produk ini tidak terkandung unsur riba. Namun terdapat permasalahan di
dalamnya diantaranya wadiah yang ditawarkan oleh bank syariah masih jaun
dari wadiah syariah, itu artinya
wadiahnya belum benar-benar berdasarkan makna syariah itu sendiri. Seperti pada
wadiah syariah penerima titipan (wadiah)
tidak dibenarkan menggunakan uang yang dititipkan kepadanya, kecuali atas
seizin pemiliknya. Namun pada kenyataanya wadiah yang menurut perbankan syariah penerima wadi’ah
sepenuhnya dinenarkan menggunakan uang tiitpan, baik diibelanjakan atau
diutangkan kembali kepada orang lain.
Selain
itu, pada wadiah syariah pemilik uang tidak mendapatkan imbalan atau bonus
apapun, sedangkan pada wadiah perbankan pemilik uang (nasabah) mendapatkan
bonus yang diistilahkan dengan “bagi hasil”. Pada wadiah syariah dimana
kepemilikan barang tidak pernah berpindah tangan menjadi milik penyimpan. Dan
wewenang peneriman wadiah terbatas. Pada wadiah perbankan dana nasabah yang
disetorkan ke ban baik secara otomatis menjadi milik bank, karenanya bank
berwenang mutlak mengalokasinya. Pada wadiah syariah bila penerima wadi’ah
memungut upah dari pemilik uang atau barang otomatis akadnya berubah menjadi
akad sewa-menyewa atau jual-beli jasa penitipan. Konsekuensinya hukumnya pun
berubah. Pada wadiah perbankan Bank dibenarkan memungut upah (uang
administrasi) atas dana nasabahnya.[8]
Sedangkan
Produk penyaluran dana (financing)
Pada
produk penyaluran dana seperti pada produk kredit pemilik rumah (KPR) ada
berbagai model salah satunya dimana pihak bank menjual rumah yang diinginkan si
nasabah namun pihak bank belum memiliki rumah itu, juga pihak bank menjual
rumah itu dengan harga lebih misalnya jika harga rumah itu 100juta dari pemilik
aslinya pihak bank menjualnya dengan harga 150juta dengan cicilan 5 tahun. Dimana
itu artinya jelas hakikat transasksi ini, bank meminjamkan sejumlah uang kepada
nasabah yang menghasilkan manfaat (riba) juga menjual sesuatu yang belum
dimiliki bank.[9]
Pada bank
syariah juga ada yang disebut dengan rahn dimana bank syariah
mengimplementasikan nya pada gadai emas, untuk memenuhi kebutuhan nasabah yang
memerlukan talangan dana segar. Nasabah menggadaikan emasnya kepada bank
syariah. Nasabah berkewajiban membayar jasa gadai, yang mereka istilahkan ujroh.
Bank syariah memungut jasa penyimpanan 1,5 % perbulan dari jumlah dana. Pada
akhir periode yang telah ditentukan dana tersebut dan emas yang digandakan
dapat diambil.
Akad rahn
merupakan turunan akad piutang,
sehingga hukum dan aturan utang piutang tetap berlaku pada akad ini. Bedanya,
dalam transaksi utang-piutang, mutlak tidak ada benda yang menjadi jaminan. Sementara
dalam akad rahn ada benda yang dijadikan jaminan, yang disebut marhun.
Untuk itu, dalam transaksi rahn kreditur tidak dibenarkan mendapat
keuntungan sedikitpun dari debitur (orang yang menggadaikan). Jika kredit
mengambil kentungan, statusnya riba.
Dan juga
pada Produk jasa (srvice)
Definis
versi bank menyebutkan Musyarakah adalah
pembiayaan yang dilakukan melalui kerjasama usaha antara bank dan nasabah;
sedangkan modal usaha berasal dari kedua belah pihak. Dalam pembiayaan
musyarakah, keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan porsi sharing
modal masing-masing. Ijarah adalah akad sewa-menyewa untuk
mendapatkan imbalan atas barang/jasa yang disewakan. Prinsip ijarah sama
dengan prinsip jual-beli namun objek transasksinya berbeda. Pada jual beli,
objek transaksinya barang. Pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.[10]
Dalam
undang-undang negara, bank tidak diperkenankan melakukan kegiatan bisnis riil. Karena
fungsi bank hanya penghimpunan dan pembiayaan dana dimasyarakat, serta beberapa
jasa keuangan lainnya, seperti transfer. Dengan demikian, pada dasarnya bank
tidak mungkin melakukan transaksi ini, berarti bank telah melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang perbankan di Indonesia. Hasilnya, penamaan transaksi itu
pada hakikatnya pinjam istilah untuk kamuflase produk bank, yang tidak lepas
dari riba.
Menurut
aturan syariat mudharabah keuntungan dibagi bersama. Kerugianpun harus dibagi bersama. Yakni
antara pemilik modal dan pelaku usaha. Jadi,
hakikat status bagi hasilnya adalah bagi riba. Karena keuntungan
transaksi utang piutang adalah riba. Para ulama membuat kaidah yang telah ma’ruf
“setiap piutang yang mendatangkan
keuntungan, maka itu adalah riba”.[11]
Jika muhdarib
diisyaratkan menjamin dana yang diterimanya dari kerugian, akad mudharabah (pengelola
dana) berubah menjadi qardh. Dan ketika pihak pemberi dana menerima bagi
hasil seseungguhnya ia menerima bunga (riba). Karena akad Mudharabahnya
telah berubah menjadi akad pinjaman berbunga tidak tetap. Hal ini disepakati
kaharamannya oleh para ulama karena termasuk riba dayn.[12]
Sukuk merupakan sertifikat berharga yang diterbitkan bank syariah seperti
layaknya obligasi. MUI mnfatwakan bahwa dana
investor harus kembali utuh pada jatuh tempo. Namun ada fatwa lain (Islamic Fiqh Academy)
menyatakan bahwa dana investor kembali
berdasarkan nilai/harga pasaran atasu sesuai kesepakatan pada saat jatuh tempo.
Fatwa MUI ini jika dipahami berarti membenarkan emiten untuk mengembalikan
sukuknya dengan harga yang sama ketika beli, tanpa mempertimbangkan kondisi
pasar. Berdasarkan fatwa DSN transasksi sukuk sama dengan akad gadai, karena
itu seharusnya investor tidak berhak mendapatkan tambaha/feeyang nantinya
akan menjadi riba.[13]
C.
Simpulan dan
Saran
Simpulan
Tidak semua bank yang berlabelkan syariah, juga termasuk produk-produk
syariahnya benar-benar menerapkan prinsip syariah terhadap transaksi ataupun
cara kerjanya. Masih banyak diantara sistem kerjanya yang tidak berbeda jauh
dengan bank konvensional hanya saja pada penyebutan atau namanya saja yang
menggunakan istilah-istilah islam sehingga seolah-olah cara kerjanyapun
terlihat seperti islami.
Banyak bank syariah yang melanggar undang-undang perbankan, yaitu
dimana tugas bank yaitu menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat yang
membutuhkan dana bukan menjadikan bank sebagai bisnis untuk mendapatkan
keuntungan semata.
Masih banyak produk perbankan syariah yang masih mencari keuntungan
dalam transaksinya diantanya ijarah dimana definisi versi bank
menyebutkan yaitu suatu akad yang
bertujuan untuk mendapatkan imbalan akan jasa atau uang yang disewakan. Pada
transaski yang benar-benar syar’i dimana tidak ada fee sama sekali
terhadap suatu produk bank syariah. Sehingga dapat dikatakan pula yang disebut
dengan bagi hasilpun itu termasuk bentuk dari riba.
Saran
Untuk mewujudkan bank yang benar-benar sesuai dengan syariat islam,
maka sangat dibutuhkan tenaga kerja yang
paham terhadap ajaran agaman
islam serta tidak hanya paham agama tetapi paham pula tentang permasalahan
perbankan. Sehingga tidak hanya sebatas label yang diberikan kepada nasabah
tapi benar-benar suatu sistem juga produk yang sesuai dengan syariat islam.
Daftar Pustaka
(n.d.). Retrieved Mei 12, 2016, from Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan¬_syariah
Arifin, Z. (2009). Dasar-Dasar
Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Azkia Publisher.
Badri, M. A. (2012). Ada
Celah Praktek Riba dalam Sukuk. Majalah Pengusaha Muslim, 27.
Badri, M. A. (2012). Wadi'ah
Bank Syariah; Sudahkan Sesuai Syariah? Majalah Pengusaha Muslim, 28.
Ikit. (2015). Akuntansi
Penghimpun Dana Bank Syariah. Yogyakarta: Deepublish.
Lewis, M. d. (2003). Perbankan
Syariah. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Qordhowi, Y. (1991). Haruskah
Hidup dengan Riba. Jakarta: Gema Insani Press.
Shomad, M. A. (2012).
Keraguan atas Praktek Bank Syariah di Indonesia. Majalah Pengusaha Muslim,
22.
Tarmidzi, E. (2012).
Mudharabah di Bank Syariah. Majalah Pengusaha Muslim, 27.
Tuasikal, M. A. (2012).
Kamuflase Istilah Syariah. Majalah Pengusaha Muslim, 7.
[1] Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta:
Azkia Publisher, 2009, hal. 2
[2] (Wikipedia) . diakses pada Kamis,
12 Mei 2016 pukul 21.44 wib.
[3] Arifin, Op. Cit, hal. 3
[4] Mervvyn Lewis dan Latifa Algaoud, Pernerj-Burhan Wirasubrata, Perbankan
Syariah. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2003, hlm. 56
[5] Ibid, hlm. 58
[6] Yusuf Qordhowi, Haruskah hidup dengan Riba, Jakarta: Gema
Insani Press, 1991, hlm. 45
[7] Ikit, Akuntansi Penghimpun Dana Bank Syariah, Yogyakarta:
Deepublish, 2015, hlm. 66
[8] M. Arifin Badri, “Wadi’ah
Bank Syariah ; Sudahkah Sesuai Syariah?”, Majalah Pengusaha
Muslim, Februari 2012, hlm. 28
[9] M. Abdus Shomad, “Keraguan atas Praktek Bank Syariah di Indonesia”, Majalah Pengusaha
Muslim, Februari 2012, hlm. 22
[10] Ibid, hlm. 24
[12] Erwandi Tarmidzi, “Mudharabah di Bank Syariah ; Berbagi Riba,
Berkedok Syariah, Majalah Pengusaha
Muslim, Maret 2012, hlm. 30
[13] M. Arifin Badri, “Ada Celah Praktek Riba dalam Sukuk”, Majalah
Pengusaha Muslim, Maret 2012, hlm.27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar