Selasa, 31 Mei 2016

Contoh Artikel : Unsur Riba pada Produk Perbankan Syariah

UNSUR RIBA PADA PRODUK PERBANKAN SYARIAH  
Erni Mulyani
FSH UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Abstrak :
Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba dapat terjadi pada  segala jenis transaksi termasuk transaksi pada produk bank syariah. Meskipun bank syariah memiliki label syariah termasuk pada segala jenis produknya yang artinya sesuai dengan syariat islam bukan berarti dalam prosesnya benar-benar sesuai dengan syariah untuk itu pentinganya bagi setiap individu mengetahui produk apa saja pada bank syariah yang masih jauh dari sistem syariah dalam proses pelaksanaannya agar umat muslim khusunya tidak terjebak pada transaksi yang mengandung unsur riba yang telah diharamkan oleh Allah swt.
           
Kata kunci: riba, bank, syariah, transaksi

A.    Pendahuluan
Perbankan syariah merupakan bank yang dalam pelayanannya memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksinya. Islam melarang kaum muslim menarik atau membayar bunga (riba). Pelarangan inilah yang menjadi pembeda antara bank syariah dan bank konvensional. Secara teknis riba merupakan tambahan pada jumlah pokok pinjaman sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan jumlah pinjamannya.
MUI dengan jelas telah memfatwakan bahwa bunga bank telah memenuhi kriteria riba sehingga haram hukumnya. Keharaman ini secara otomatis melekat bagi sisapapun dan lembaga keuangan apapun yang menerapkan bunga dalam operasionalnya. Bunga bank menjadi beban nasabah yang mengharuskan bisnisnya selalu untung dan menjadi dasar bagi perbankan untuk meraup keuntungan dari nasabahnya. Walaupun  seharusnya mempertimbankan juga  aspek bisnis yang mengalami fluktuasi untung dan rugi. Keuntungan tidak harus didapati dari penerapan bunga, justru dengan nprinsip adil dan transparan dalam bermuamalah semua pihak akan tetap mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
Riba yang diterapkan oleh sistem perbankan konvensional telah menggurita dan menjadi rujukan bagi operasional bank syariah dalam mendapatkan keuntungan bisnisnya. Sementara penerapan kaidah-kaidah syariah islam di perbankan syariah selama ini masih memunculkan keraguan bagi sebagian besar umat, terutama mereka yang bermuamalah secara langsung. Label-label syariah dari produk yang ditawarkan perbankan syariah hanya menjadi pembungkus agar produk tersebut bisa diterima oleh umat. Namun secara nyata semua  produk tersebut masih bermasalah dan bertentangan dengan syariat islam. Untuk itu penulis membuat artikel ini dengan judul Unsur Riba pada Produk Bank Syariah untuk mengetahui apa saja dari produk perbankan syariah yang masih mengandung riba pada proses operasionalnya.

B.     Pembahasan
a.    Pengertian Bank Syariah dan Riba
Kata bank dapat kita telusuri dari kata banque bahasa Prancis, dan dari banco dalam bahasa Italia, yang dapat berarti peti atau lemari atau bangku. Konotasi kedua ini menjelaskan dua fungsi dasar yang ditunjukkan oleh bank komersial. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya. Dewasa ini peti bank berarti portepel aktiva yang menghasilkan (portfolioof earning assets), yaitu portofolio yang memberi bank “darah kehidupan” bernama laba bersih setelah pengeluaran-pengeluaran dan pajak.[1]
Perbankan syariah (Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaanya berdasarkan hukum islam (syariah).[2] Bank syariah didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip islam, syariah dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait. Prinsip utama yang diikuti oleh bank islami itu adalah (a) Larangan riba dalam berbagai transaksi; (b) Melakukan kegiatan usaha san perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang asli; (c) Memberikan zakat.[3]
Riba secara etimologi berasal dari Bahasa Arab yang memiliki arti pertambahan, kelebihan, pertumbuhan, atau peningkatan. Riba berasal dari akar rab’a yang artinya menambah (atau melebihi), sementara ribh berasal dari akar rabiha yang artinya memperoleh (atau untung) Said dalam buku Mervin dan Lativa, Perbankan Syariah mengatakan bahwa akar r-b-w dalam Al-Quran memiliki pengertian tumbuh, bertambah, naik bengkak, meningkat, dan menjadi besar dan tinggi. Kata juga digunakan dalam pengertian bukit kecil. Semua penggunaan ini nampak memiliki satu makna yang sama yakni pertumbuhan, baik secara kualitas maupun kuantitas. [4]
Riba biasa diterjemahkan [dalam bahasa Inggris] sebagai usuary (setiap tambahan atau bunga yang terlalu tinggi atas pokok pinjaman), seperti dalam terjemahan yang disampaikan kepada Raja Fahd dari Arab Saudi oleh Presiden Islamic Researches: ‘Hal itu karena mereka mengatakan: “Jual-beli itu mengharamkan riba...” (Q.S. al-Baqarah:275). Riba secara formal dapat didefinisikan sebagai suatu keuntungan moneter tanpa ada nilai imbangan yang ditetapkan untuk salah satu dari dua pihak yang mengadakan kontrak dalam pertukaran dua nilai moneter.

b.      Hukum Riba pada Bank Syariah
Prinsip umum hukum islam yang berdasarkan pada sejumlah surah dalam Alquran, menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri dengan cara tidak benar, atau menerima keuntungan tanpa memberikan nilai timbangan, secara etika dilarang.
Konsep riba tidak terbatas pada bunga. Dikenal dua bentuk riba dalam hukum islam. Yaitu, riba al-qarud yang berhubungan dengan tambahan atas pinjaman, dan riba al-buyu yang berhubungan dengan tambahan atas jual-beli. Riba al-buyu  ada dua bentuk yaitu riba al-fadl yang meliputi pertukaran secara bersamaan dari komoditas yang sama, dan  riba an-nasai yang meliputi pertukaran  secara tidak bersamaan dari komoditas yang sama yang memiliki kualitas dan kuantitas yang sama. Kelebihan dalam kuantitas maupun penundaan dalam pelaksanaan, dua-duanya dilarang.
Riba al-qarud, bunga pinjaman, meliputi bahan atas pinjaman yang bertambah seiring dengan berjalannya waktu, dengan kata lain merupakan pinjaman berbunga, dan kadang-kadang disebut sebagai riba an-nasai, tambahan karena menunggu. Riba ini muncul apabila peminjam harta orang lain, apa pun bentuknya, dibebani oleh si pemberi pinjaman untuk membayar suatu tambahan tertentu di samping pokok pinjaman pada saat pelunasan. Jika tambahan itu ditetapkan sebelumnya pada awal transaksi sebagai suatu jumlah tertentu, dengan cara bagaimanapun pertambahan ini terjadi, maka pinjaman itu menjadi pinjaman ribawi. Pelarangan diperluas ke semua bentuk pinjaman dan utang yang memberikan tambahan kepada si kreditur.
Tidak bisa disangkal bahwa semua bentuk riba dilarang mutlat oleh Alquran, yang merupakan sumber pokok hukum islam. Dengan demikian pula, dalam beberapa hadis, sebagai sumber paling otoritatif berikutnya, Nabi Muhammad saw. Mengutuk orang yang memungut riba, orang yang membayarnya, orang yang menuliskan perjanjiannya, dan orang yang menyaksikan persetujuannya. Namun demikian, meskipun perintahnya jelas, sebagian ulama mempersoalkan kondisi yang melatarbelakangi pelarangan dalam Alquran dan bertanya-tanya apakah keberatan terhadap riba berlaku (atau harus berlaku) degan ketegasan yang sama dengan saat ini. Fazlur Rahman (1964), khususnya, menyatakan pandangan tidak setuju mengenai ketidakpedulian terhadap kajian tentang apa itu riba dilihat secara historis, mengapa Alquran mentah-mentah melarangnya, dan fungsi bungan bank dalam perekonomian modern.[5]
Sebenarnya landasan para fuqaha (ahli fiqih) dalam menetapkan hukum riba ialah Al-Quram sendiri dalam firmanNya[6]:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yangg belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Al Baqarah 278)
“..Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al Baqarah 279)
Ayat diatas jelas-jelas menyatakan bahwa selebihnya dari pokok harta adalah riba, baik sedikir maupun banyak. Menetapkan riba yang diharamkan Al-Quran sebenarnya tidak perlu di uraikan panjang lebar. Yang jelas, tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu hal kepada hambanya dan mengancam mereka  dengan siksaan yang paling keras atas perbuatan bila mereka tidak mengetahuinya.

c.       Produk Bank Syariah
Bank Syariah memiliki peran sebagai lembaga immediary antara orang/lembaga/badan yang mengalami kelebihan dana (surplus units) dengan orang/lembaga/badan yang mengalami kekurangan dana (deficit units). Secara umum produk-produk perbankan syariah terbagi menjadi tiga bagian diantaranya yaitu :
1.        Produk penghimpun dana ( funding)
2.        Produk penyaluran dana (financing)
3.        Produk jasa (srvice)[7]
Produk penghimpun dana dalam bank syariah dapat dilakukan dengan dua prinsip diantaranya adalah prinsip Al-Wadiah dan prinsip Mudharabah.  Adapaun penjelasan dari keduan prinsip diatas sebagai berikut:
Prinsip Al-Wadiah
Wadiah menurut Peraturan Bank Indonesia nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran DanaBagi Bank  yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah, adalah penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang pada penyimpanan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang menerima titipan untuk mengembalikan dana atau barang tiitpan sewaktu-waktu. Wadiah merupakan suatu amanah bagi orang yang dititipkan dan dia berkewajiban mengembalikannya pada saat pemiliknya meminta kembali.
Landasan syariah tentang Akad Wadiah terdapat dalam Al-Quran dan Al-Hadist diantaranya adalah:
Al-Quran
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku degan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; seseungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” Qs: An-Nisaa, Ayat: 29
Al-Hadist
“Abu Hurairoh diriwayatkan bahwa Rasullallah saw bersabda, sampaikanlah kepada (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang menghianatimu” HR Abu Dawud

Akad  dengan pola titipan dibagi menjadi dua bagian yaitu: Wadiah yad al-amanah dan Wadiah yad adh-dhamanah. Wadiah yad al-amanah adalah titipan dari pihak yang diberi amanah, aset atau uang yang dititip harus dijaga dengan sebaik-baiknya dan dikembalikan kapas saja pemilik menghendaki. Dengan prinsip ini pihak yang menerima simpanan tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan aset atau uang yang dititipkan melainkan hanya menjaganya. Selain itu aset atau uang yang dititipka tidak boleh dicampuradukkan dengan aset atau uang lain. Wadiah yad adh-dhamanah merupakan titipan murni dari pihak penitip yang mempunyai aset atau uang kepada pihak penyimpanan yang diberi amanah, aset atau uang yang dititip harus dijaga dengan sebaik-baiknya dan dikembalikan kapan saja pemilik menghendakinya. Namun pada prinsip Wadiah yad adh-dhamanah pihak perbankan syariah boleh menggunakan dan memanfaatkan aset atau uang yang dititipkan. Artinya,  pihak perbankan syariah telah mendapat izin dari pihak penitip untuk menggunakan aset atau uang tersebut. Dengan prinsip ini perbankan syariah boleh mencampur aset atau uang milik penitip dengan tujuan untuk menjalankan operasional (penghimpunan, penyaluran dana dan jasa) perbankan syariah. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk tujuan produktif mencari keuntungan. Manajemen perbankan syariah diperbolehkan memberikan bonus kepada penitip, dengan prinsip bonus tidak diperjanjikan diawal akad.
Prinsip Mudharabah
Dalam prinsip mudharabah, penyimpanan atau deposan  bertindak sebagai pemilik modal sedangkan bank bertindak sebagai pengelola. Dana yang tersimpan kemudian oleh bank  digunakan untuk melakukan pembiayaan, dalam hal ini apabila bank menggunakannya untuk pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi. Berdasarkan kewenangan yang dibrikan oleh pihak penyimpan, maka prinsip mudharabah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
·      Mudharabah mutlaqah: prinsipnya dapat berupa tabungan dan deposito, sehingga ada 2 jenis yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Tidak ada pemabatasan bagi bank untuk menggunakan dana yang telah terhimpun.
·      Mudharabah muqayyadah on balance sheet: jenis ini adalah simpanan khusus dan pemilik dapat menetapkan syarat-syarat khusus yang harus dipatuhi oleh bank, sebagai contoh disyaratkan untuk bisnis tertentu, atau untuk akad tertentu.
·         Mudharabah muqayyadah off balance sheet:Yaitu penyaluran dana langsung kepada pelaksana usaha dan bank sebagai perantara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pelaksana usaha juga dapat mengajukan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi bank uutuk menentukan jenis usaha dan pelaksana usahanya.

Adapun produk bank syariah yang berupa penyaluran dana antara lain terdiri dari berbagai prinsip yaitu :
Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip Jual Beli (Ba’i) Jual beli dilaksanakan karena adanya pemindahan kepemilikan barang. Keuntungan bank disebutkan di depan dan termasuk harga dari harga yang dijual. Terdapat 3 jenis jual beli dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam bank syariah, yaitu:
Ba’i Al Murabahah Jual beli dengan harga asal ditambah keuntugan yang disepakati antara pihak bank dengan nasabah, dalam hal ini bank menyebutkan harga barang kepada nasabah yang kemudian bank memberikan laba dalam jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ba’i Assalam Dalam jual beli ini nasabah sebagai pembeli dan pemesan memberikan uangnya ditempat akad sesuai dengan harga barang yang dipesan dan sifat barang telah disebutkan sebelumnya. Uang yang tadi diserahkan menjadi tanggungan bank sebagai penerima pesanan dan pembayaran dilakukan dengan segera. Ba’i Al Istishna Merupakan bagian dari Ba’i Asslam namun ba’i al ishtishna biasa digunakan dalam bidang manufaktur. Seluruh ketentuan Ba’i Al Ishtishna mengikuti Ba’i Assalam namun pembayaran dapat dilakukan beberapa kali pembayaran.
Prinsip Sewa (Ijarah)
Prinsip Sewa (Ijarah) Ijarah adalah kesepakatan pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa. Dalam hal ini bank meyewakan peralatan kepada nasabah dengan biaya yang telah ditetapkan secara pasti sebelumnya.
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah) Dalam prinsip bagi hasil terdapat 2 macam produk, yaitu: Musyarakah adalah salah satu produk bank syariah yang mana terdapat 2 pihak atau lebih yang bekerjasama untuk meningkatkan aset yang dimiliki bersama dimana seluruh pihak memadukan sumber daya yang mereka miliki baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Dalam hal ini seluruh pihak yang bekerjasama memberikan kontribusi yang dimiliki baik itu dana, barang, skill, ataupun aset-aset lainnya. Yang menjadi ketentuan dalam musyarakah adalah pemilik modal berhak dalam menetukan kebijakan usaha yang dijalankan pelaksana proyek.
Mudharabah adalah kerjasama dua orang atau lebih dimana pemilik modal memberikan mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola dengan perjanjian pembagian keuntungan. Perbedaan yang mendasar antara musyarakah dengan mudharabah adalah kontribusi atas manajemen dan keuangan pada musyarakah diberikan dan dimiliki 2 orang atau lebih, sedangkan pada mudharabah modal hanya dimiliki satu pihak saja.
Selain dapat melakukan kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana, bank juga dapat memberikan jasa kpd nasabah dengan mendapatan imbalan berupa sewa atau keuntungan, jasa tersebut antara lain; Sharf (Jual Beli Valuta Asing) adalah jual beli mata uang yang tidak sejenis namun harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan untuk jasa jual beli tersebut. Dan Ijarah (Sewa) Kegiatan ijarah ini adalah menyewakan simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian), dalam hal ini bank mendapatkan imbalan sewa dari jasa tersebut.
d.      Produk yang Memiliki Unsur Riba pada Operasionalnya.
Pada produk penghimpun dana ( funding), ada istilah wadiah atau titipan, meskipun pada produk ini tidak terkandung unsur riba. Namun terdapat permasalahan di dalamnya diantaranya wadiah yang ditawarkan oleh bank syariah masih jaun dari  wadiah syariah, itu artinya wadiahnya belum benar-benar berdasarkan makna syariah itu sendiri. Seperti pada wadiah syariah  penerima titipan (wadiah) tidak dibenarkan menggunakan uang yang dititipkan kepadanya, kecuali atas seizin pemiliknya. Namun pada kenyataanya wadiah yang  menurut perbankan syariah penerima wadi’ah sepenuhnya dinenarkan menggunakan uang tiitpan, baik diibelanjakan atau diutangkan kembali kepada orang lain.
Selain itu, pada wadiah syariah pemilik uang tidak mendapatkan imbalan atau bonus apapun, sedangkan pada wadiah perbankan pemilik uang (nasabah) mendapatkan bonus yang diistilahkan dengan “bagi hasil”. Pada wadiah syariah dimana kepemilikan barang tidak pernah berpindah tangan menjadi milik penyimpan. Dan wewenang peneriman wadiah terbatas. Pada wadiah perbankan dana nasabah yang disetorkan ke ban baik secara otomatis menjadi milik bank, karenanya bank berwenang mutlak mengalokasinya. Pada wadiah syariah bila penerima wadi’ah memungut upah dari pemilik uang atau barang otomatis akadnya berubah menjadi akad sewa-menyewa atau jual-beli jasa penitipan. Konsekuensinya hukumnya pun berubah. Pada wadiah perbankan Bank dibenarkan memungut upah (uang administrasi) atas dana nasabahnya.[8]


Sedangkan Produk penyaluran dana (financing)
Pada produk penyaluran dana seperti pada produk kredit pemilik rumah (KPR) ada berbagai model salah satunya dimana pihak bank menjual rumah yang diinginkan si nasabah namun pihak bank belum memiliki rumah itu, juga pihak bank menjual rumah itu dengan harga lebih misalnya jika harga rumah itu 100juta dari pemilik aslinya pihak bank menjualnya dengan harga 150juta dengan cicilan 5 tahun. Dimana itu artinya jelas hakikat transasksi ini, bank meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah yang menghasilkan manfaat (riba) juga menjual sesuatu yang belum dimiliki bank.[9]
Pada bank syariah juga ada yang disebut dengan rahn dimana bank syariah mengimplementasikan nya pada gadai emas, untuk memenuhi kebutuhan nasabah yang memerlukan talangan dana segar. Nasabah menggadaikan emasnya kepada bank syariah. Nasabah berkewajiban membayar jasa gadai, yang mereka istilahkan ujroh. Bank syariah memungut jasa penyimpanan 1,5 % perbulan dari jumlah dana. Pada akhir periode yang telah ditentukan dana tersebut dan emas yang digandakan dapat diambil.
Akad rahn  merupakan turunan akad piutang, sehingga hukum dan aturan utang piutang tetap berlaku pada akad ini. Bedanya, dalam transaksi utang-piutang, mutlak tidak ada benda yang menjadi jaminan. Sementara dalam akad rahn ada benda yang dijadikan jaminan, yang disebut marhun. Untuk itu, dalam transaksi rahn kreditur tidak dibenarkan mendapat keuntungan sedikitpun dari debitur (orang yang menggadaikan). Jika kredit mengambil kentungan, statusnya riba.
Dan juga pada Produk jasa (srvice)
Definis versi bank menyebutkan  Musyarakah adalah pembiayaan yang dilakukan melalui kerjasama usaha antara bank dan nasabah; sedangkan modal usaha berasal dari kedua belah pihak. Dalam pembiayaan musyarakah, keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan porsi sharing modal masing-masing. Ijarah adalah akad sewa-menyewa untuk mendapatkan imbalan atas barang/jasa yang disewakan. Prinsip ijarah sama dengan prinsip jual-beli namun objek transasksinya berbeda. Pada jual beli, objek transaksinya barang. Pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.[10]
Dalam undang-undang negara, bank tidak diperkenankan melakukan kegiatan bisnis riil. Karena fungsi bank hanya penghimpunan dan pembiayaan dana dimasyarakat, serta beberapa jasa keuangan lainnya, seperti transfer. Dengan demikian, pada dasarnya bank tidak mungkin melakukan transaksi ini, berarti bank telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang perbankan di Indonesia. Hasilnya, penamaan transaksi itu pada hakikatnya pinjam istilah untuk kamuflase produk bank, yang tidak lepas dari riba.
Menurut aturan syariat mudharabah keuntungan dibagi bersama. Kerugianpun harus dibagi bersama. Yakni antara pemilik modal dan pelaku usaha. Jadi,  hakikat status bagi hasilnya adalah bagi riba. Karena keuntungan transaksi utang piutang adalah riba. Para ulama membuat kaidah yang telah ma’ruf  “setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba”.[11]
Jika muhdarib diisyaratkan menjamin dana yang diterimanya dari kerugian, akad mudharabah (pengelola dana) berubah menjadi qardh. Dan ketika pihak pemberi dana menerima bagi hasil seseungguhnya ia menerima bunga (riba). Karena akad Mudharabahnya telah berubah menjadi akad pinjaman berbunga tidak tetap. Hal ini disepakati kaharamannya oleh para ulama karena termasuk riba dayn.[12]
Sukuk merupakan sertifikat berharga yang diterbitkan bank syariah seperti layaknya obligasi. MUI mnfatwakan bahwa dana  investor harus kembali utuh pada jatuh tempo. Namun  ada fatwa lain (Islamic Fiqh Academy) menyatakan bahwa  dana investor kembali berdasarkan nilai/harga pasaran atasu sesuai kesepakatan pada saat jatuh tempo. Fatwa MUI ini jika dipahami berarti membenarkan emiten untuk mengembalikan sukuknya dengan harga yang sama ketika beli, tanpa mempertimbangkan kondisi pasar. Berdasarkan fatwa DSN transasksi sukuk sama dengan akad gadai, karena itu seharusnya investor tidak berhak mendapatkan tambaha/feeyang nantinya akan menjadi riba.[13]

C.     Simpulan dan Saran
Simpulan
Tidak semua bank yang berlabelkan syariah, juga termasuk produk-produk syariahnya benar-benar menerapkan prinsip syariah terhadap transaksi ataupun cara kerjanya. Masih banyak diantara sistem kerjanya yang tidak berbeda jauh dengan bank konvensional hanya saja pada penyebutan atau namanya saja yang menggunakan istilah-istilah islam sehingga seolah-olah cara kerjanyapun terlihat seperti islami.
Banyak bank syariah yang melanggar undang-undang perbankan, yaitu dimana tugas bank yaitu menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana bukan menjadikan bank sebagai bisnis untuk mendapatkan keuntungan semata.
Masih banyak produk perbankan syariah yang masih mencari keuntungan dalam transaksinya diantanya ijarah dimana definisi versi bank menyebutkan yaitu suatu  akad yang bertujuan untuk mendapatkan imbalan akan jasa atau uang yang disewakan. Pada transaski yang benar-benar syar’i dimana tidak ada fee sama sekali terhadap suatu produk bank syariah. Sehingga dapat dikatakan pula yang disebut dengan bagi hasilpun itu termasuk bentuk dari riba.
Saran
Untuk mewujudkan bank yang benar-benar sesuai dengan syariat islam, maka sangat dibutuhkan tenaga kerja yang  paham terhadap ajaran  agaman islam serta tidak hanya paham agama tetapi paham pula tentang permasalahan perbankan. Sehingga tidak hanya sebatas label yang diberikan kepada nasabah tapi benar-benar suatu sistem juga produk yang sesuai dengan syariat islam.


Daftar Pustaka

(n.d.). Retrieved Mei 12, 2016, from Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan¬_syariah
Arifin, Z. (2009). Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Azkia Publisher.
Badri, M. A. (2012). Ada Celah Praktek Riba dalam Sukuk. Majalah Pengusaha Muslim, 27.
Badri, M. A. (2012). Wadi'ah Bank Syariah; Sudahkan Sesuai Syariah? Majalah Pengusaha Muslim, 28.
Ikit. (2015). Akuntansi Penghimpun Dana Bank Syariah. Yogyakarta: Deepublish.
Lewis, M. d. (2003). Perbankan Syariah. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Qordhowi, Y. (1991). Haruskah Hidup dengan Riba. Jakarta: Gema Insani Press.
Shomad, M. A. (2012). Keraguan atas Praktek Bank Syariah di Indonesia. Majalah Pengusaha Muslim, 22.
Tarmidzi, E. (2012). Mudharabah di Bank Syariah. Majalah Pengusaha Muslim, 27.
Tuasikal, M. A. (2012). Kamuflase Istilah Syariah. Majalah Pengusaha Muslim, 7.





[1] Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Azkia Publisher, 2009,  hal. 2
[2] (Wikipedia). diakses pada Kamis, 12 Mei 2016 pukul  21.44 wib.
[3] Arifin, Op. Cit, hal. 3
[4] Mervvyn Lewis dan Latifa Algaoud, Pernerj-Burhan Wirasubrata, Perbankan Syariah. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,  2003, hlm. 56
[5] Ibid, hlm. 58      
[6] Yusuf Qordhowi, Haruskah hidup dengan Riba, Jakarta: Gema Insani Press, 1991, hlm. 45
[7] Ikit, Akuntansi Penghimpun Dana Bank Syariah, Yogyakarta: Deepublish, 2015,  hlm. 66
[8] M. Arifin Badri, “Wadi’ah  Bank Syariah ; Sudahkah Sesuai Syariah?”, Majalah Pengusaha Muslim,  Februari 2012, hlm. 28
[9] M. Abdus Shomad, “Keraguan atas Praktek Bank  Syariah di Indonesia”, Majalah Pengusaha Muslim, Februari 2012, hlm. 22
[10] Ibid, hlm. 24
[11] M. Abduh Tuasikal, “Kamuflase Istilah Syariah”, Majalah Pengusaha Muslim, Februari 2012, hlm.7
[12] Erwandi Tarmidzi, “Mudharabah di Bank Syariah ; Berbagi Riba, Berkedok Syariah, Majalah  Pengusaha Muslim, Maret 2012, hlm. 30
[13] M. Arifin Badri, “Ada Celah Praktek Riba dalam Sukuk”, Majalah Pengusaha Muslim, Maret 2012,  hlm.27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar