Sabtu, 28 Mei 2016

Problematika Hadits Sebagai Dasar Tasyri




KATA PENGANTAR

Puja dan puja beserta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena ridha-Nya lah tugas makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga tercurahlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya dan kita semua selaku umatnya. Terimakasih kepada bapak Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad., M.Si. yang telah memberikan tugas ini, berkat beliau penulis bisa menyusun karya tulis ini yang berjudul “Problematika Hadits Sebagai Dasar Tasyri” 

Hadits merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Quran. Hadits merupakan ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad. Hadits ditulis atau disusun salah astunya dengan tujuan sebagai penjelas isi Al-Quran. Begitu banyak periwayat hadits untuk itu tidak semua hadits yang diriwayatkan merupakan hadist shahih. 

Penulis begitu sadar akan banyaknya kekurangan dalam makalah ini maka dari itu penulis sangat berharap adanya keritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman, dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.
         
Bandung,  November  2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 

Hadits merupakan salah satu sumber ajaran umat islam setelah Al-Quran dan salah satu fungsi hadits yaitu sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Quran yang dianggap samar maknanya. Selain sebagai penjelas fungsi hadits yang lainnya yaitu untuk menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam al-Quran, serta menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam al-Quran. 

Karena hadits memiliki isi yang lebih transparan dari al-Quran, sehingga lebih mudah untuk dikeritisi, bahkan oleh non muslim. Sehingga banyak non muslim yang tidak menyukai umat islam menjadikan hadist untuk menyelewengkan umat muslim maka dari itu agar kita terhindar dari kekeliruan terhadap sebuah hadits maka dibuatlah makalah mengenai problematika hadits sebagai dasar tasyri.

B. Rumusan Masalah

a) Bagaimana definisi Hadits?
b) Bagaimana Problematika Hadits mengenai Pemalsuan Hadits?
c) Bagaimana Problematika Hadits mengenai Inkar As-Sunnah?
d) Bagaimana Problematika Hadits mengenai Kritik Orientalis? 

C. Tujuan

a) Untuk mengetahui definisi Hadist
b) Untuk mengetahui Problematika Hadits mengenai Pemalsuan Hadits
c) Untuk mengetahui Problematika Hadits mengenai Inkar As-Sunnah
d) Untuk mengetahui Problematika Hadits mengenai Kritik Orientalis 

D. Manfaat

a) Penulis dan Pembaca mendapatkan pengetahuan lebih mengenai problematika hadits sebagai dasar tasyri.
b) Penulis dan Pembaca dapat semakin memperkuat keimanan.



BAB II
PEMBAHASAN 

A. Pengertian Hadits 

Menurut bahasa hadits memiliki beberapa arti, yaitu baru, dekat, warta atau berita. Adapun pengertian hadits menurut istilah ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) (Muhaemin, 2008 : 5) 

Dalam Wikipedia, hadits (ejaan KBBI: hadis adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat islam. Hadits dijadikan sumber hukum islam selain al-Quran, dalam hal ini kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran. (http://id.m.wikipedia.org/wiki/Hadits)

B. Pemalsuan hadits 

a) Pengertian hadits palsu (Maudhu’) 

Secara bahasa, kata maudhu’ berarati sesuatu yang digugurkan (Al-Masqath), yang ditinggalkan (Al-Matruk), dan diada-adakan (AlMufrad). Menurut istilah, hadits maudhu’ adalah pernyataan yang dibuat oleh seseorang kemudian dinisbahkan kepada Nabi SAW. Hadits Maudhu’ itu dicipta dan dibuat-buat, kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah SAW. secara palsu dan dusta baik secara sengaja maupun tidak, dengan tujuan buruk atau baik sekalipun.
أويقره  يقله  لم ممّا كذبا و إختلافا السلام و عليه الله  صلى و الله  رسول  الى نسب ما
“Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan dan memperbuatnya”
Dr. Mahmud Thalan di dalam kitabnya,
الموضع يسمى يثه فحد الله رسول على ب الكذ هو الروى فى الطعن سبب كان اذا
“Apabila sebab keadaan cacatnya rawi dia berdusta terhadap Rasulullah, maka haditsnya dinamakan maudhu”. (Tasyiru Musthahalu Al-Hadits: 89)
Dan pengertiannya secara istilah beliau mengatakan,
هو الكذب المختلق المنصوع المنسوب الى رسول الله صلى الله عليه والسلام
“Hadits Maudhu’ yang dibuat oleh seorang pendusta yang dibangsakan kepada Rasulullah”

b) Sejarah perkembangan Hadits Palsu 

1. Perselisihan Politik Dalam Soal Khalifah 

Partai-partai politik pada masa itu, ada yang membuat banyak hadits palsu, ada yang sedikit. Yang paling banyak membuat hadits palsu ialah golongan Syi’ah dan Rafidhah (salah satu sekte Syi’ah). Golongan Syi’ah membuat hadits-hadits mengenai kekhilafahan Ali, yakni mengenai keutamaannya dan keutamaan Ahlul Baait. Disamping itu, mereka membuat pula hadits-hadits untuk mencela dan memburuk-burukan para sahabat, khususnya Abu Bakar danUmar bin Khattab. Menurut keterangan Al-Khalily, dalam kitab Al-Irsyad fi ‘Ulama’ Al-Bilad, kaum Rafidhah telah membuat hadits palsu mengenai keutamaan Ali dan Ahlul Bait sebanyak 300.000 hadits. Yakni boleh berdusta menurut mereka untuk kebaikan. 

Diantara hadits palsu yang dibuat mereka yaitu:
من اراد ان ينظر الى أدم في علمه و الى نوح في تقواه والى ابراهيم في حلمه والى موسى في هيييته و الى عيس في عبادته فلينظر الى علي.
“Barang siapa ingin melihat kepada Adam tentang ketinggian ‘ilmunya, ingin melihat kepada Nuh tentang ketaqwaannya, ingin melihat kepada Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat kepada Musa tentang kehebatannya, ingin melihat kepada Isa tentang Ibadahnya, maka hendaklah ia melihat Ali.”

2. Zandaqah 

Yang dimaksud dengan Zandaqah, rasa dendam yang bergelimang dalam hati saubari golongan yang tidak menyukai kebangkita Islam dan kejayaan pemerintahannya. Memangg Islam telah merobohkan beberapa singgasana kerajaan dan menghilangkan kebesaran-kebeasran yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu. Umat yang merasakan bahwa di dalam Islam diperoleh kemuliaan pribadi manusia, diperoleh kemerdekaan berpikir, bersaha dan diperoeh kehormatan aqidah, masuklah benar hati orang yang menaruh dendam kepada Islam dan kekusaannya. Maka oleh karena mereka tidak memperoleh jalan untuk merobohkan kedaulatan Islam yang sudah amat kokoh, mereka berupaya mengeruhkan Islam menghilangkan kejernihan dengan jalan membuat hadits-hadits palsu, agar dengan demikian, keruhlah keadaan hadits, berangsur-angsur rusaklah kepercayaan dan berprecah-pecahlah pengikut-pengikutnya. 

Mereka mengusahakan tipu muslihatnya dengan menyisipkan tasyayu (yang membangkitkan fanatik, tashawuf (benci kepada dunia) dan dengan jalan falsafah dan hikmah. Contoh,
ان الله لما خلق الحروف سجدت الباء ووقفت الالف
“Bahwasanya Allah ketika menjadikan huruf bersujudlah ba’, dan tegak berdirilah alif.”

3. Ashbiyah 

Ashbiyah yaitu fanatik kebangsaan, kekabilahan, kebahasaan dan keimanan. Mereka yang fanatik kepada kebangsaan Persia membuat hadits diantaranya,
ان الله اذا غضب أنزل الوحي بالعربية  واذا رضي انزل الوحي بالفارسية
“Allah apabila marah menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila ridha menurunkan wahyu dalam bahasa Persia”.


4. Keinginan menarik minat para pendengar dengan kisah-kisah penghajaran dan hikayat-hikayat menarik 

Ketika tugas memberi nasihat kepada umat dikendalikan oleh orang-orang yang tidak bertaqwa, tidak takut kepada Allah dan yang mereka perlukan cuma menarik minat pendengar, dapat membawa mereka bertagis-tangisan, merekapun memalsukan berbagai kisah dan hikayat. Mereka katakan bahwa yang demikian diterima, atau didengar dari Nabi SAW. Diantara hadits yang dibuat para ahli kisah (qushshash) yaitu:
من قال لااله الاالله. خلق الله من كل كلمة طائرا. منقاره من دهب وريشه من مرجان
“Barang siapa membaca Laa Ilaaha Illallah, nisacaya Allah menjadikan dari tiap-tiap kalimatnya seekor burung, paruhnya dari emas dan buahnya dari marjan.”


5. Perselisihan paham dalam masalah fiqih dan masalah kalam 

Para pengikut mazhab dan pengikut-pengikut ulama kalam yang bodoh membuaat pula beberapa hadits palsu untuk menguatkan pendirian para imamnya. Mereka yang fanatik kepada madzhab Abu Hanifah membuat hadits:
من رفع يديه فى الركوع فلا صلاة له
“Barang siapa mengangkat dua tangan ketika ruku’. Tidak ada shalat baginya.”
Mereka yang fanatik kepada madzhab Imam Syafi’i membuat hadits:
امني جبريل عندالكعبة فجهر بسم الله الرحمن الرحيم
“Aku beriman kepada Jibril di sisi Ka’bah, maka ia menyaringkan Bismillahirrahmanirrahiim.”
Mereka yang fanatik kepada Ulama Kalam membuat hadits:
من قال ان القرأن مخلوق فقد كفر
“Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluq, kufur(kafirlah) ia.”



6. Adanya Pendapat Yang Membolehkan Membuat Hadits untuk Kebaikan. 

Ada golongan yang berpendapat bahwa tidak ada salahnya kita membuat-buat hadits untuk menarik minat umat kepada ibadah. Mereka berpendapat bahwa berdusta untuk kebaikan, boleh. Lantaran ini dihadapan kita sekarang terdapat hadits-hadits yang menerangkan keutamaan surat-surat Al-Qur’an. Hadits-hadits tersebut dibuat oleh Nuh Ibn Abu Maryani. Ketika ditanya kepadanya, ia menjawab, “Saya temukan manusia telah berpaling dari membaca Al-Qur’an, maka saya membuat hadits-hadits ini untuk menarik minat umat kepada Al-Qur’an itu kembali”. Diantara orang yang membuat hadits-hadits palsu, Ghulam Al-Ghalil. 

7. Mendekatkan Diri kepada Pembesar-Pembesar Negara 

Untuk memperoleh penghargaan dari para pembesar, terutama dari khalifah, ulama su’(ulama yang buruk) membuat hadits untuk meligitimasi sesuatu perbuatan pembesar-pembesar itu. Sebagai contoh, Ghiyats Ibn Ibrahim pada suatu hari masuk ke istana Al-Mahdy yang sedang menyabung burung merpati, ia berkata bahwa Nabi SAW. bersabda:
لاسبق الافي نصل او خف أو حافر أو جناح
“hanya boleh kita bertaruh dalam perlemparan panah, dalam memperlombakan kuda dalam memperadukan burung yang bersayap.”

Perkataan yang terakhir ini (au janahin) adalah tambahan dari Ghiyats itu. 

c) Golongan-Golongan yang Memalsukan Hadits

Dengan memperhatikan uraian di atas, nyatalah bahwa golongan yang membuat hadits palsu itu ada sembilan golongan:
1. Zanadiqah (orang-orang zindiq)
2. Penganut-penganut Bid’ah
3. Orang-orang yang dipengaruhi fanatik kepartaian, orang-orang yang ta’ashshub kepada kebangsaan, kenegerian dan keimanan.
4. Orang-orang yang dipengaruhi ta’ashshub madzhab.
5. Para qushshash (Ahli riwayat/dongeng)
6. Para ahli tasawuf zuhhad yang keliru.
7. Orang-orang yang mencari penghargaan pembesar negeri.
8. Orang-orang yang ingin memgahkan dirinya dengan dapat meriwayatkan hadits-hadits yang yidak diperoleh orang lain.

B. Ingkar As-Sunnah 
a) Pengertian Ingkar As-Sunnah 

Ingkar As-Sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengkibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun seluruhnya. 

Ada tiga jenis kelompok Ingkar As-Sunnah. Pertama, kelompok yang menolak hadits-hadits Rasulullah SAW. secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadits-hadist yang tak disebutkan dalam Al-Qur’an secara tersurat ataupun tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadits-hadits mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau periodenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak hadits-hadits Ahad (tidak mencapai derajat mutawatir) walaupun sahih. Mereka beralasan dengan ayat, 

“…Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” 

Mereka berhujjah dengan ayat itu, tentu saja menurut penafsirah model mereka sendiri. 

b) Sejarah perkembangan Ingkar As-sunnah. 

1. Inkar As-Sunnah Klasik 

Pada masa sahabat, seperti dituturkan oleh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, ada sahabat yang kurang begitu memerhatikan kedudukan sunnah Nabi SAW., yaitu ketika sahabat ‘Imran bin Hushain sedang mengajarkan hadits. Tiba-tiba, ada seorang yang meminta agar ia tidak usah mengajarkan hadits, tetapi cukup mengajarkan Al-Qur’an saja. Jawab ‘Imran, “Tahukah anda, seandainya anda da kawan-kawan anda hanya memakai Al-Qur’an, apakah anda dapat menemukan dalam Al-Quran bahwa shalat dhuhur itu empat rakaat, shalat Ashar empat rakaat, dan shalat Maghrib tiga rakaat? Apabila anda hanya memakai AL-Quran, darimana anda tahu bahwa thawaf (mengelilingi Ka’bah) dan Sa’i antara Shafa dan Marwa itu tujuh kali?” 

Agaknya gejala-gejala ingkar as-sunnah seperti diatas, masih merupakan sikap-sikap individual, bukan merupakan sikap kelompok atau madzhab, meskipun jumlah mereka dikemudian hari semakin bertambah. Itulah gejala-gejala Ingkar As-Sunnah yang muncul dikalangan para sahabat. Sementara menjelang akhir abad kedua Hijriah muncul pula kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber syari’at Islam, disamping ada pula yang menolak sunnah yang bukan mutawatir saja. 

2. Ingkar As-Sunnah Modern 

Jika dianalisa, penyebab utama timbulnya ingkar sunnah modern ini adalah akibat pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal 19 M. Di dunia islam, terutama di India setelah terjadinya pemberontakan melawan kolonial Inggris tahun 1875 M berbagai usaha-usaha yang dilakukan kolonial untuk pedangkalan ilmu agam dan umum. Penyimpangan akidah melalui pimpinan-pimpinan umat islam dan tergiurnya mereka terhadap teori-teori barat untuk memberikan interpretasi hakikat islam. Seperti yang dilakukan oleh Ciragh Ali, Mirza Gulam Ahmad Al-Qadliyani dan tokoh-tokoh lain yang mengingkari hadits-hadits jihad dan perang. 

Di Mesir diawali oleh tulisan Dr. Taufiq Sidqi (W. 1920 M) dengan bebrapa artikelnya dimajalah Al-Manar diantaranya berjudul Al-Islam Huwa Al-Qur’anu Wahdah (Islam hanyalah Al-Qur’an saja),, kemudian diikuti oleh para sarjana lain yaitu Ahmad Amin dengan bukunya Fajr Al-Islam, Mahmud Abu Rahyyah dengan bukunya Adhwa’ ‘ala As-Sunnah Al-Muhammadiyah, dan lain-lain. 

Sedangkan di Malaysia, Kasim Ahmad dengan tulisannya hadits satu penilaian semula dan di Indonesia diantaranya Abdurrahman dan Achmad Sutarto dengan diktatnya serta pengikut-pengikutnya antara lain Nazwar Syamsu (W 1983 di Padang Sumatra Barat), Dalimi Lubis, dan H. Sanawi Pasar Rumput Jakarta Selatan. Menurut hasil penelitian MUI buku-buku tersebuut mennyesatkan umat Islam dan akan mengganggu stabilitas nasional, maka jaksa agung RI dengan surat keputusannya no. Kep-169/J/A/1983 melaranng beredarnya buku-buku yang ditulis mereka tanggal 30 September 1983.


c) Berbagai Argumen Para Pengingkar Sunnah 

1. Argumen Naqli 

Segala sesuatu sudah dijelaskan dal Al-Quran dan tidak ada yang terlewat (di alfakan) sesuatupun. 

“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-‘An’am: 38) 

Al-Quran turun sebagai penerang/ penjelasan bagi segala sesuatu secara sempurna. 

“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An-Nahl: 89) 

Beberapa Hadits Nabi SAW diantaranya: 

“Apa yang datang kepadamu dariku, maka konfirmasikanlah dengan kitabullah, jika sesuai dengan kitabullah maka berarti akulah yang telah mengatakannya, dan jika ternyata menyalahi ktabullah, maka hal itu bukanlah aku yang mengatakannya. Dan sesuungguhnya aku (Selalu) sejalan dengan kitabullah dan dengannya Allah telah memberi petunjuk kepadaku” (HR. Bukahari) 

Penulisan Sunnah dilarang, seandainnya Sunnah dijadikan landasan hukum Islam pasti Nabi tidak melarang.


2. Argumen-Argumen Aqli (non Naqli) 

Cukup banyak juga argumen aqli yang telah diajukan oleh para pengingkar sunnah, diantaranya adalah sebagai berikut: 
  • Al-quran diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad (melaluai malaikat Jibril) dalam bahasa Arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu memahami Al-Quran secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi. Dengan demikian, hadits Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk Quran. 
  • Dalam sejarah, umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam nudur karena umat Islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada Hadits Nabi. Jadi menurut mereka, hadits Nabi merupakan sumber kemunduran uma Islam. Agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan Hadits. 
  • Asal mula Hadits Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab Hadits adalah dongeng-dongeng semata. 
  • Menurut pengingkar sunnah kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadits sangat lemah untuk menentukan keshahihan hadits dengan alasan sebagai berikut:
  1. Dasar kritik sanad yang dalam ilmu hadis dikenal dengan ilmu Jarh wa Ta’dil (ilmu yang membahasa ketercelaan dan keterpujian para periwayat hadits), baru muncul satu setengah abad setelah Nabi wafat. Dengan demikian, para periwayat generasi sahabat Nabi, para Tabi’in dan Tabi’u tabi’in tidak dapat ditemui dan diperiksa lagi. 
  2. Seluruh sahabat Nabi sebagai periwayat Hadits pada generasi pertama dinilai adil oleh ulama Hadits pada abad ketiga dan awal abad keempat Hijriah. Dengan konsep ta’dil As-shahabah, para sahabat nabi dinilai terlepas dari kesalahan dalam melaporkan Hadits.
d) Kelompok-Kelompok Pengingkar Sunnah
  • Kelompok-kelompok yang menolak Hadits-hadits Rasulullah sebagai hujjah secara keseluruhan.
  • Kelompok yang mennolak Hadits-Hadits Rasulullah yang kandungannnya tidak disebutkan dalam Al-Quran, baik secara implisit maupun eksplisit. 
  • Kelompok yang hanya menerima Hadits-Hadits Mutawatir sebagai hujjah dan menolak Hadits-Hadits ahad, sekalipun hadits ahad itu memenuhi syarat Hadits Shahih.
e) Bahaya Mengingkari Sunnah 

Diantara bahaya mengingkari sunnah yakni, bagi orang-orang yang menyalahi perintah Rasulullah SAW akan ditimpa azab yang pedih, dan menjadi sesat. Faham Ingakar Sunnah harus dijauhi karena memiliki kelemahan. Disamping itu, ingkar sunnah juga baru eksis 1200 tahun setelah wafatnya Nabi SAW. Selanjutnya, orang yang mengingkari sunnah selalu kalah jika berhadapan dengan para ulama Ahlu Sunnah ketika itu. Pada sisi lain ingkar sunnah sama sekali tidak memiliki kekayaan intelektual sebagaimana Ahlu sunnah, banyak diantara tokoh Ingkar Sunnah yang hidupnya berakhir dengan mengenasakan setimpal dengan dosa-dosanya, dan secara historis, tidak ada seorangpun khalifah dalam sejarah Islam yang berfaham ingkar sunnah.

C. Kritik Orientalis 

a) Pengertian Kritik dan Orientalis 

“Kritik” berasal dari bahasa Inggris “critic” yang artinya pengecam, pengkritik, pengupas, pembahas. Secara terminologi, kritik berarti upaya-upaya untuk menemukan kesalahan, atau menurut versi W.J.S. Purwodarminto mengkritik diartikan dengan “memberi pertimbangan dengan menunjukkan yang salah”. Sedang Kritik dalam Bahasa Arab adalah “naqd” yang diterjemahkan dengan kritik dan kecaman. 

Sedangkan kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Orientalisme adalah gelombang pemikiran yang mencerminkan berbagai studi ketimuran yang islami, yang dijadikan obyek studi mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaan. Orientalisme muncul setelah orang kristen berputus asa memerangi Islam dengan pedang, sehingga mereka menganggap bahwa cara terbaik untuk memerangi Islam adalah melalui Ghazwu al-Fikr (perang pemikiran).

b) Biografi ketiga Orientalis

1. Biografi Ignaz Goldziher 

Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Ia bukan saja aktif menghadiri ‘tallaqi’ dengan beberapa masyayikh di Al-Azhar, bahkan ia pernah ikut shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir. 
Ignaz Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Hungaria 1850. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel “asli” dalam bahasa Ibrani. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913),seorang pakar tentang Turki.


Setelah menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher melanjutkan studinya di Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor dari universitas tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya setelah dibimbing selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman terkemuka. Setelah dari Leipzig, Goldziher melanjutkan penelitiannya di Universitas Leiden, Belanda, selama setahun. Selanjutnya, pada usianya yang ke-21, ia pulang ke kampung halamannya dan menjadi dosen privat (Privatdozent) di Universitas Budapest, Hunagria. 

Sebagai “adat” para orientalis untuk mengunjungi dan menetap di negara-negara Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi dengan para ulama, Goldziher juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir, ia dikenalkan oleh Dor Bey,seorang pejabat keturunan Swiss yang bekerja di Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey,Goldziher diperkenalkan kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir. 

Setelah berkenalan beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher mengemukakan hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi Riyad Pasha lah, Syakhul al-Azhar, ‘Abbasi,Mufti Masjid al-azhar terbujuk. Setelah bertemu dengan Goldziher yang saat itu mengaku bernama Ignaz al-Majari(Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya “Muslim” (namun dalam makna percaya kepada Tuhan yang satu, bukan seorang musyrik) , serta dengan kelihaiannya berdiplomasi, maka Goldziher bisa “menembus” al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar,seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya. 

Setelah sukses “bersandiwara,” Goldziher kembali ke Budapest. Ia menjabat sebagai Sekretaris Zionis Hungaria. Bagaimanapun, kajian tentang Islam lebih mewarnai kehidupannya dibanding keterlibatannya di bidang politik. Goldziher menulis banyak karya tentang studi Islam. Ia menulis misalnya, Muhammedanisnche Studien (Studi Pengikut Muhammad, 2 jilid,1889-1890); Die Riechtungen der islamischen Koranauslegung (Mazhab-Mazhab Tafsir dalam Islam,Leiden,1920) dan masih banyak lagi karya lainnya. 

Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921. 

Ignaz Goldziher melalui analisa dan pemikirannya telah melahirkan faham sesat dalam Islam yaitu Inkar Sunnah (inkar hadits), dan sekarang kaki tangan Goldziher sudah tersebar dimana-mana di dunia ini terutama sekali sarjana-sarjana Islam yang mengecap pendidikan di perguruan tinggi yang dikelola oleh jaringan zionis internasional. Di Mesir ada Ali Hasan Abdul Qadir, Dr. Thoha Husein, Dr. Ahmad Amin dan Abu Rayyah, di Amerika faham ini disebarkan oleh Dr. Rasyad Khalifah dan di Indonesia oleh Dr. Snouck Hourgrounje dan kaki tangannya seperti Habib Abdurrhman Az-Zahir, Sayid Osman bin Yahya dan Tengku Nurdin.

2. Biografi Joseph Schacht 

Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun. 

Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar. 

Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggeris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggeris. Dan ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggeris, dan menikah dengan wanita Inggris. 

Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggeris. Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggeris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, namun pemerintah Inggeris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Propesor-Doktor, di Inggeris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut. 

Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan mengajar di Universitas laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969. 

Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. 

Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.

3. Biografi Gauther H.A Juynboll 

Juynboll adalah seorang orientalis yang mendukung pemikiran kedua orientalis di atas, berasal dari Belanda dan dilahirkan tahun 1935, sejak di bangku S1 di Leiden ia telah banyak melakukan kajian tentang otensitas hadits, di antara karya-karyanya adalah: The Authenticity of the Tradition Literature, Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadîth; Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith; dan Discussion in Modern Egypt.

c) Pemikiran Ketiga Orientalis 

1. Pemikiran Ignaz Goldziher 

Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna. 

Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadits adalah ignaz goldziher dalam bukunya : Muhammadanische Studies, dia mengatakan:”bagian terbesar dari hadits tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadits merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”. 

Karena buku itu (Muhammadanische Studies), dianggaplah ”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat. 

Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadits t dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul. 

Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadits sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadits tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadits Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadits yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan: 

(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadits ”) Kata-kata “ahadits ” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadits ” yang berarti hadits -hadits yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadits-hadits yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadits -hadits Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadits yang belum pernah ada pada saat itu. 

Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadits yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam. 

Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadits dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadits tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang. 

2. Pemikiran Joseph Schacht 

Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadits adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. Sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof. Schacht mengatakan : we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadis nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai Hadis Shahih). 

Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:
  • Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama. 
  • Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik. 
  • Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik. 
  • Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu. 
  • Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu. 
Dan dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, Joseph Schacht menyusun beberapa teori berikut ini:

· Teori Projecting Back 

Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits Nabi. 

Prof. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits -Hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadits -hadits itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. 

Ia berpendapat bahwa Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah. 

Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapatpendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekontruksi terbentuknya sanad Hadits menurut Prof. Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapatpendapat itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka, inilah yang disebut oleh Schacht dengan teori projecting Back. 

Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para fuqâhâ’ di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi. 

· Teori E Siliento 

Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadits oleh sarjana (ulama atau perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadits tersebut, maka berarti hadits tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadits ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadits itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi. 

· Teori Common Link 

Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya. Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits itu telah ada semenjak Rasulullah saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabi’in, lalu baru menyebar setelah Common Link? Juynboll menganggap fenomena ini muncul karena common link itulah yang pertama kali memproduksi dan mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah jalur sanad ke belakang sampai Rasulullah saw. 

3. Pemikiran Juynboll 

Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba……” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis. 

Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan fenomena common link dalam periwayatn hadits. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan Jurisprudence. 

d) Bantahan Ulama terhadap Kritik Orientalis 

Gencarnya kritikan terhadap hadits dari kalangan orientalis tidak lantas membuat ulama Islam berdiam diri, setidaknya ada tiga ulama kontemporer yang telah menangkal teori-teori ketiga orientalis di atas, mereka adalah Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy dalam bukunya as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam, Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib dalam bukunya as Sunnah Qabla Tadwin dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature. 

Berikut ini kami ketengahkan beberapa bantahan dari ulama-ulama tersebut, terutama Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami yang telah menelanjangi para orientalis sampai mereka tidak berkutik karena argument-argument yang disampaikannya benar dan valid. 

1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher 

Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. 

Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh. 

Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan. 

Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah. 

Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan. 

2. Bantahan untuk Josep Schacht 

Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis. 

Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja. 

Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’i, kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in. 

Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf. 

Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada. 

Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi. 

Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. 

Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam. 

3. Bantahan untuk G.H.A Juynboll 

Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan. 

Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya. 

Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.


 BAB III
SIMPULAN 

Kebenaran tidak diukur dengan orang, tetapi oranglah yang harus di imbang dengan kebenaran. Inilah timbangan yang benar. Meskipun kedudukan dan derajat seseorang dapat berpengaruh bagi diterimanya perkataannya, akan tetapi itu bukan tolak ukur kebenaran sama sekali. 

Untuk memahami latar belakang perkembangan, pemikiran dalam masyarakat islam, tentu salah satu cara yang biasa kita gunakan adalah dengan melihat materi-materi agama yang menjadi konsen umat islam. terutama semua materi yang menjadi konsen umat islam dinyatakan merujuk pada Al-Qur’an dan hadis, dan bukan terpaku kepada Al-Quran saja seperti argumen-argumen yang telah dipaparkan oleh tokoh-tokoh pengingkar As-Sunnah. 

Persoalan problematika dalam dunia Hadits rupanya menjadi sasaran yang paling vital untuk kita sikapi dan cepat kita tanggapi. Karena hal itu merupakan masalah yang sangat kompleks yang berbahaya bagi pemahaman umat khususnya berbahaya bagi keselamatan aqidah umat Islam. 

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa persoalan Problematika Hadits sebagai dasar Tasyri’ mulai muncul pada abad klasik. Mereka mulai memalsukan hadits atas dasar yang tidak logis, yaitu atas dasar kepentingan kelompoknya, politik, dan lain-lain. Kemunculan redaksi seperti itu disebabkan oleh pemahaman mereka yang salah dan buta. Bukan hanya itu, pengingkaran Sunnah dilakukan untuk menjatuhkan keperkasaan umat Islam dilakukan oleh antek-antek tokoh kolonial pada zamannya.

DAFTAR PUSTAKA
  • ash-Shiddieqy, T. M. (2010). Sejarah dan Pengantar ILMU HADITS. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
  • Hadits. (t.thn.). Dipetik 12 15, 2015, dari Wikipedia: http://id.m.wikipedia.org/wiki/Hadits
  • Herdi, A. (2010). Ilmu Hadits. Bandung: Insan Mandiri.
  • Muhaemin. (2008). Al-Quran dan Hadits. Bandung: Grafindo Media Pratama.
  • Suryadi, A. (2009). Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar