PERKEMBANGAN HADITS QOBLA TADWIN
karya : Desi Nurull, dkk
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaum muslimin meyakini bahwa Al-Hadits
merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaannya merupakan
realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini
karena tugas rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa
yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya
tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri.
Secara historis perjalanan hadits tidak
sama dengan perjalanan al-Qur`an. Jika Al-Qur`an sejak awalnya
sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh pencatat wahyu atas petunjuk dari
Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya,
maka tidak demikian halnya dengan hadits. Jika al-Qur`an secara normatif telah
ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak
demikian dengan hadits.
Berita tentang perilaku Nabi Muhammad Saw
baik berupa sabda, perbuatan maupun sikapnya didapat dari seorang sahabat atau
lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian
disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir
atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya
yang disebut tabi’in ( satu generasi di bawah sahabat). Berita tersebut
disampaikanlagi kepada murid-muridnya dari generasi selanjutnya lagi yaitu para
tabi’ut tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadits ( mudawwin).
Keberadaan
hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah
perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi,
zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan
hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi
untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan
tercampurnya naskah al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus
Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan
tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar bin
Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang
lain. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa
pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H).
Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.
Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.
Dengan demikian, keberadaan
al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Qur’an yang sejak
awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah Saw maupun para
sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi
dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang
dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat
dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah
demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa
pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun
99 – 101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah Saw.
Oleh karena
itu, kami akan membahas tentang “Perkembangan Hadits Qabla Al-Tadwin” dalam
makalah ini
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu Qabla Al-Tadwin ?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Rasulullah?
3.
Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa sahabat?
4.
Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Tabi'in?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa pengertian dari qabla al-tadwin
2.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan hadits pada
masa rasulullah
3.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan hadits pada
masa sahabat
4.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan hadits pada
masa Tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qabla Al-Tadwin (Kodifikasi)
Dalam
bahasa Indonesia, kodifikasi memiliki arti “Klasifikasi hukum dan undang-undang
berdasarkan asas-asas tertentu dalam buku undang-undang yang baku”. Sedangkan
Kodifikasi dalam bahasa Inggris berasal dari
codification yaitu suatu kata benda (noun) yang berarti “kodifikasi,
penyusunan (undang-undang dan sebagainya) menurut suatu system.”
Kemudian
kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tadwin, yang berasal
dari kata dawwana, yudawwinu, tadwina, artinya membuktikan, mendaftarkan
atau menulis dan mencatat. Secara
bahasa tadwin diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’
al-shuhuf). secara luas tadwin diartikan dengan al-Jam’u (mengumpulkan).
Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagaimana yang dikutip oleh Munzeir
Saputra dalam bukunya “Ilmu Hadits”. Sebagai berikut:
تقييد المتفرق المشتت وجمعه فى ديوان او كتاب تجمع فيه الصحوف
“Mengikat yang
berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan tau kitab yang
terdiri dari lemberan-lembaran”
Sedangkan
secara istilah, tadwin digunakan untuk makna penyusunan dan pembukuan (التصنيف و التألف). Manna al-Khattan mengatakan bahwa tadwin
adalah mengumpulkan shahifah (lembaran-lembaran) yang sudah tertulis dan
yang dihafal dalam dada, lalu menyusunnya menjadi sebuah buku. Adapula yang
mengartikan kodifikasi hadits dengan proses pembukuan hadits secara resmi yang
dilakukan atas instruksi khalifah (Umar
bin Abdul Aziz)
Dengan
demikian tadwin adalah
mengumpulkan hadits dari lembaran-lemabaran sesuai dengan cara tertentu
sehingga menjadi sebuah buku agar terpelihara dari hal-hal yang akan merusak
keaslian hadits atau bisa juga diartikan dengan proses pembukuan hadits secara
resmi yang dikodifikasikan oleh pemerintah (dalam hal ini Khilafah) dan bukan
semata-mata kegiatan penulisan hadits saja karena kegiatan penulisan hadits
sudah ada secara berkesinambungan sejak zaman Rasulullah saw.
Sejarah hadits
pra kodifikasi atau qabla al-tadwin maksudnya adalah sejarah hadits sebelum
dibukukan, mulai dari zaman Rasul sampai pada masa ditetapkannya pembukuan
hadits secara resmi (tadwin).
B.
sejarah perkembangan hadits pada Masa Rasulullah
Rasulullah
SAW membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya
wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut
keseriusan dan kehatian-hatian para
sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada rosul
di jelaskan melalui perkataan (aqwal),
perbuatan (af ‘al), dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar,
dilihat dan di saksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasulullah SAW merupakn
contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan
dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
Kedudukan
hadist dalam sumber ajaran Islam adalah yang kedua dan itu telah disepakati
oleh hampir seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah hanya ada sekelompok
kecil dari kalangan “ulama” dan umat islam yang menolak hadist Nabi sebagai
sumber ajaran Islam yang kedua. Mereka dikenal sebagai inkar al-sunnah.
a.
Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistimewaaan pada masa
ini yang membedakannya dengan masa lainnya . Umat Islam pada masa ini dapat
secara langsung memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Antara Rasulullah Saw dengan mereka tidak ada jarak
yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah
masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara
bebas. Tak ada protokolan-protokolan yang menghalangi mereka bergaul dengan
beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi,
dikala beliau tak ada di rumah. Yakni tak boleh mereka terus masuk kerumah dan berbicara dengan istri-istri Nabi, tanpa
hijab.
Nabi SAW menggauli mereka di rumah,
dimesjid, dipasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar. Seluruh
perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi
tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan
pedoman hidup.
Kedudukan Nabi yang demikian ini
otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan,dan taqrir nabi sebagai
referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan
Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang
segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun
akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan ini sendiri dimaksudkan agar
keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat tempat
pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak
kesempatan.
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul
SAW menyampaikan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang
didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah),
dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka
(melalui musyahadah).
Rasulullah saw dalam menyampaikan
dakwahnya kepada para sahabatnya tidak menyimpang dari metode al-Qur’an karena Rasulullah
saw adalah penyampai kitab Allah
(al-Qur’an), penjelas hukum-hukumnya, dan penerang ayat-ayatnya.
Beliau menyampaikan kepada kaumnya
dan orang-orang yang ada disekitarnya. Beliau merinci ajaran-ajaran Islam,
menerapkan hukum-hukum al-Qur’an. Sepanjang hidupnya, beliau berperan sebagai
Pengajar, Hakim, Qadhi, Mufti, dan Pemimpin. Segala hal yang berkaitan dengan
umat Islam, yang kecil maupun yang besar, dan segala yang menyangkut pribadi
dan jamaah dalam berbagai lapangan kehidupan yang tidak disebut dal al-Qur’an,
tercakup dalam As-Sunnah: amaliyah (perbuatan), qauliyah (ucapan),
atau taqririyah (izin). Dari sinilah kita menemukan hukum-hukum,
norma-norma akhlak, ibadah-ibadah, dan cara mendekatkan diri kepada Allah yang disyari’atkan, dipraktekkan dan disunnahkan selama
seperempat abad.
Dalam membina para shahabat,
Rasulullah saw menjadikan rumah al-Arqam sebagai tempat pembinaan para shahabat
pada masa-masa dakwah secara sembunyi-sembunyi. Kaum muslimin generasi awal
berkerumun di sekeliling beliau, jauh dari kaum musyrikin untuk mempelajari
kitab Allah swt. Kepada mereka beliau mengajarkan dasar-dasar Islam dan
menyampaikan wahyu al-Qur’an. Setelah itu tempat tinggal Rasulullah saw di
Makkah menjadi tempat barkumpul (nadwah) dan institusi (ma’had)
mereka untuk menerima al-Qur’an dan menyerap hadits yang mulia, lansung dari
Rasulullah saw.
Nabi saw sebagai Rasul, sangat disegani dan
ditaati oleh para shahabat, sebab mereka sadar bahwa mengikuti Rasul dan
sunnahnya adalah keharusan dalam berbakti kepada Allah swt. Oleh karena itu
para shahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menerima segala yang diajarkan
Nabi saw baik berupa wahyu al-Qur’an maupun haditsnya. Dan disamping dorongan keagamaan, mereka juga
mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang teguh serta mempunyai kecerdasan dan
kecepatan dalam memahami sesuatu.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh
dari kota Madinah selalu mangutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi
Rasul untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka ke kampung,
merekapun segera mengejarkan kawan-kawannya sekampung. Hal ini menerangkan,
bahwa para shahabat benar-benar memperhatikan gerak gerik Nabi dan sangat
memerlukannya untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka meyakini, bahwa mereka diperintahkan
mengikuti dan menta’ati Nabi saw.
Dari keterangan di atas dapat
dipahami bahwa hadits diterima para shahabat dengan secara lansung maupun tidak
lansung dari segala cara hayat Nabi saw. Penerimaan hadits secara langsung misalnya sewaktu nabi
memberikan ceramah, pengajian, khutbah dan penjelasan terhadap pertanyaan para
shahabat. Adapun yang tidak lansung, seperti mendengar dari shahabat lain atau
dari utusan-utusan, baik dari utusan Nabi saw ke daerah-daerah atau utusan
daerah yang datang kepada Nabi saw. Para shahabat setelah menerima hadits Nabi
saw dalam memelihara hadits-hadits yang mereka terima, mereka berpegang pada
kekuatan hafalan.
Pada masa Nabi saw., kepandaian tulis baca
dikalangan para shahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Oleh
karena kecakapan tulis baca di kalangan shahabat masih kurang, maka Nabi
menekankan untuk menghafal hadits, memahami, memelihara, mematerikan atau memantapkan
dalam amalan sehari-hari, serta mentablighkannya kepada orang lain.
Nabi bersabda :
Artinya :“Mudah-mudahan
Allah mengindahkan seseorang yang
mendengar ucapanku lalu dihafalnya, difahaminya, dan disampaikannya kepada
orang persis sebagai yang didengarnya, karena banyak sekali orang yang
kepadanya disampaikan berita lebih paham dari yang mendengarnya sendiri.” (HR.
Abu Daud dan al-Tirmidzi)
Dengan demikian, periwayatan hadits
pada masa Nabi saw pada umumnya secara musyafahah-musyahadah, menerima
secara lisan, menginventarisir dan memelihara dalam hafalan dan amalannya,
serta menyampaikannya secara lisan pula.
Para shahabat tidak sederajat dalam
menerima dan mengetahui hadits dari Nabi saw karena adanya faktor tempat
tinggal, pekerjaan, usia, dan hal lainnya. Ada sahabat yang banyak mengetahui
hadits karena lama berjumpa dan berdialog dengan Nabi saw dan ada yang sedikit
saja menerima hadits.
Adapun Para shahabat yang banyak
menerima hadits dari Nabi saw antara lain:
a. Yang
mula-mula masuk Islam (assabiqunal awwalun), seperti: Abu Bakar, Umar, Usman,
Ali, Abdullah bin Mas’ud.
b. Yang
selalu menyertai Nabi saw dan berusaha keras menghafalnya, sepertia; Abu
Hurairah; yang mencacatnya, seperti : Abdullah ibn Amr ibn Ash.
c. Yang
lama hidupnya sesudah Nabi saw., dapat menerima hadits dari sesame shahabat,
seperti: Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas.
d. Yang
erat hubungannya dengan Nabi saw., yaitu ummu al-Mu’minin, seperti :
Aisyah, Ummu Salamah.
Terhadap Hadits, Nabi memerintahkan
untuk dihafal dan ditablighkan dengan tidak boleh sama sekali mengubahnya, tapi
tidak menyelenggarakan penulisan secara resmi seperti penulisan al-Qur’an.
Sebab-sebab
penulisan Hadits tidak diselenggarakan secara resmi pada masa Nabi saw.
adalah:
1. Agar
tidak ada kesamaran terhadap al-Qur’an dan menjaga agar tidak bercampur antara
catatan al-Qur’an dengan hadits. Karena al-Qur’an dihafal dan ditulis sedangkan
hadits dihafal juga.
2. Pencatatan
al-Qur’an yang beransur-ansur turunnya memerlukan perhatian dan pengerahan
tenaga penulis yang kontinyu, sedang shahabat yang pandai menulis sangat
terbatas, maka tenaga yang ada dikhususkan untuk menulis al-Qur’an.
3. Menyelenggarakan
pemeliharaan hadits dengan hafalan tanpa tuliasan secara keseluruhan berarti memlihara
kekuatan hafalan di kalangan umat islam atau bangsa Arab yang sudah terkenal
kuat hafalannya.
4. Penulisan
hadits dengan segala ucapan, amalan, muamalah dan sebagainya merupakan hal yang
sulit sekali secara teknis, dibutuhkan adanya penulis yang harus terus menerus
menyertai Nabi saw dalam segala hal.
b. Masalah
larangan dan kebolehan menulis hadits
M. Ajaj Al-Khatib di dalam bukunya
“As-Sunnah qabla at-Tadwin” mengemukakan hadits-hadits Rasulullah
saw, tentang penulisan hadits, baik yang melarang penulisan maupun yang
membolehkannya.
1. Hadits-hadits
yang melarang Penulsan Hadits
Abu Sa’id al-Hudzri meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Janganlah kalian
menulis (hadits) dariku, dan barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an
maka hendaklah ia menghapusnya.”
Ini adalah hadits Rasulullah saw
yang paling shahih tentang larang menulis hadits.
2. Hadits-hadits
yang membolehkan Penulisan
Abdullah bin Amr bin al-Ash r.a.
berkata, “Saya menulis segala yang saya dengar dari Rasulullah saw. saya hendak
menghafalnya, namun orang-orang Quraisy melarangku. Mereka berkata, ‘Engkau
menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw, sedangkan beliau
manusia yang kadang kala berbicara dalam keadaan marah dan senang. ‘Saya pun
berhenti menulis. Kemudian saya ingat kepada beliau, ketika beliau menunjukkan
jari ke mulutnya dan bersabda:
Artinya : “Tulislah! Maka demi
Allah yang jiwaku berada ditanganNya, tidak keluar darinya (mulut) kecuali
kebenaran.”
Terhadap
perbedaan pendapat dan dalil-dalil Hadits tersebut diatas para ulama telah
mengadakan penela’ahan, analisis, pembahasan atau memunaqasahkan sampai
diketahui ketentuan hukum dari penulisan hadits tersebut, sebagai berikut:
1. Larangan
penulisan hadits berhubungan dengan soal hafalan dan pemeliharaannya, mereka
berpendapat:
a. Penulisan
hadits dilarang untuk memeluhara daya hafalan bangsa Arab yang kuat; kalau
sudah tergantung pada catatan, maka kekuatan hafalannya akan berkurang,
sehingga dengan demikian menulis hadits tidak dibolehkan.
b. Kelau
menulis hadits untuk sekedar penghafalan dan kalu sudah dihafal lalu dihapus,
maka dibolehkan menulis hadits tersebut.
c. Larangan
menulis hadits adalah bagi yang kuat ingatan atau hafalan dan yakin tidak akan
lupa, maka bagi yang takut lupa diperbolehkan menulis hadits.
2. Titik
sasaran/persoalan larangan penulisan hadits terletak pada soal kekhawatiran
tercampurnya antara al-Qur’an dan al-Hadits, maka ada pendapat yang menyatakan.
a. Pada
permulaan Islam, karena kekhawatiran itu lebioh menonjol, maka penulisan hadits
dilarang, tapi setelah bilangan umat Islam semakin banyak dan mereka mampu
membedakan antara al-Qur’an dna Hadits, maka larangan itu sudah tidak perlu lagi
dan diizinkanlah penulisan Hadits itu.
b. Penulisan
Hadits dilarang bagi penulisan wahyu dan al-Qur’an atau kepada siapa yang
menulis Haditsnya ditempat yang sama dengan catatan al-Qur’an.
c. Sedangkan
larangan penulisan Hadits berlaku pada saat al-Qur’an diturunkan, maka diwaktu
selain/setelah itu, penulisan hadits diizinkan.
d. Penulisan
hadits dilarang atau tidak dilakukan adalah untuk menyelenggarakan penulisan
secara formal sebagai tadwin al-Qur’an, tapi diperbolehkan dan dilakukan untuk
keperluan perorangan.
B.
sejarah perkembangan hadits pada masa sahabat
Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada
umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu
al-Qur’an dan Hadits yang harus
dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi saw wafat,
kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan shahabat Nabi. Shahabat Nabi
yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as- Shiddiq ( wafat 13
H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin
Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat
khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin
dan periodenya biasa disebut juga dengan zaman shahabat besar
Para shahabat mengetahui kedudukan
As-Sunnah sebagai sumber syari’ah pertama setelah Al-Qur’anulkarim. Mereka
tidak mau menyalahi as-Sunnah jika as-Sunnah itu mereka yakini kebenarannya,
sebagaimana mereka tidak mau berpaling sedikitpun dari as-Sunnah warisan
beliau. Mereka berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari Nabi saw. karena
khawatir berbuat kesalahan dan takut as-Sunnah yang suci itu ternodai oleh kedustaan atau
pengubahan. Oleh karena itu mereka menempuh segala cara untuk memelihara
hadits, mereka lebih memilih bersikap “sedang dalam meriwayatkan hadits” dari
Rasulullah., bahkan sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “sedikit dalam
meriwayatkan hadits”. Periode shahabat disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa
al-Iqlal min al-riwayah” yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat.
Dalam prakteknya, cara shahabat
meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a.
Dengan lafazh asli, yakni menurut
lafazh yang mereka terima dari Nabi saw yang mereka hafal benar lafazhnya dari
Nabi saw.
b.
Dengan maknanya saja, yakni mereka
meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli
dari Nabi saw.
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa
al-Rasyidin tentang periwayatan hadits Nabi.
a. Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad
al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu Bakar merupakan shahabat Nabi yang
pertama menunjukkan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Pernyataan
al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus
waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada
Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu
Bakar menjawab, bahwa ia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan prektek Nabi yang
memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para
shahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah
memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetabkan kewarisan nenek itu.
Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan
seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran
pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek
dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadits Nabi saw yang disampaikan
oleh al-Mughirah tersebut.
Kasus di atas menunjukkan, bahwa Abu
Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadits, sebelum meneliti
periwayatnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat
hadits untuk menghadirkan saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat Abu
Bakar dalam periwayatan hadits terlihat pada tindakannya yang telah membakar
catatan-catatan hadits miliknya. Putri Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah
membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadits. Menjawab pertanyaan
Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia
khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadits. Hal ini menjadi bukti sikap
kehari-hatian Abu Bakar dalam periwayatan hadits.
Data sejarah tentang kedataan
periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa Khalifah Abu Bakar sangat
terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada masa pemerintahan Abu Bakar
tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai ancaman dan kekacauan yang
membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan kekacauan itu berhasil
diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada itu tidak sedikit shahabat Nabi,
khususnya yang hafal Qur’an, telah gugur di berbagai peperangan. Atas desakan
Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan al-Qur’an (jam’
al-Qur’an).
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan
hadits pada masa Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan
yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun demikian dapat dikemukakan,
bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan
sikap Abu Bakar, yakni sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain
terlihat pada pemerikasaan hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat.
b. Umar bin al-Khatthab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam
periwayatan hadits. Hal ini terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadits
yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat
hadits dari Ubay, setelah para shahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr
menyatakan telah mendengar pula hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh
Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya
tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin
berhati-hati dalam periwayatan hadits ini.
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab
tersebut telah dialami juga oleh Abu Musa al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah,
dan lain-lain. Kesemua itu menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan
hadits.
Disamping itu, Umar juga menekankan
kepada para shahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat.
Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan
mendalami al-Qur’an.
Kebijakan Umar melarang para sahabat
Nabi memperbanyak periwayatan hadits, sesungguhnya tidaklah bahwa Umar sama
sekali melarang para shahabat meriwayatkan hadits. Larangan umar tampaknya
tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: [a] agar
masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, [b] agar perhatian
masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu. Hal ini diperkuat oleh bukti-bukti
berikut ini:
1. Umar
pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari hadits Nabi dari
para ahlinya, karena mereka lebih menetahui tentang kandungan al-Qur’an.
2. Umar
sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi, Ahmad bin Hanbal telah
meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga ratus
hadits. Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama shahabat dan
tabi’in terkenal yang telah meneriam riwayat hadits Nabi dari Umar. Ternyata
jumlahnya cukup banyak.
3. Umar
pernah merencanakan menghimpun hadits nabi secara tertulis. Umar meminta
pertimbangan kepada para shahabat. Para shahabat menyetujuinya. Tetapi satu
bulan umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan melakukan shalat istikharah,
akahirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia khawatir himpunan hadits itu akan
memalingkan perhatian umat Islam dari al-Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali
tidak nenampakkan larangan terhadap periwayatan hadits. Niatnya menghimpun
hadits diurungkan bukan karena alas an periwayatan hadits, melainkan karena
factor lain, yakni takut terganggu konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an
Dari uraian di atas dapat
dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada zaman Umar bin al-Khatthab telah
lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila dibandingkan dengan zaman Abu
Bakar. Hal ini bukan hanya disebabkan karena umat islam telah lebih banyak
menghajatkan kepada periwayatan hadits semata, melainkan juga karena khalifah
Umar telah pernah memberikan dorongan kepada umat islam untuk mempelajari
hadits Nabi. Dalam pada itu para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam
melakukan periwaytan hadits, karena Umar
telah melakukan pemeriksaan hadits yang cukup ketat kepad para periwayat
hadits. Umar melakukan yang demikian bukan hanya bertujuan agar konsentrasi
umat Islam tidak berpaling dari al-Qur’an, melainkan juga agar umat Islam tidak
melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadits. Kebijakan Umar yang demikian
telah menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan
pemalsuan-pemalsuan hadits.
c.
Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan ‘Usman
tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh
oleh kedua khalifah penduhulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas
langkah ‘Umar bin Khatthab.
‘Usman secara pribadi memang tidak
banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits nabi yang
berasal dari riwayat ‘Usman sekitar empat puluh hadits saja. Itupun banyak
matan hadits yang terulang, karena perbedaan sanad. Matn hadits yang banyak
terulang itu adalah hadits tentang berwudu’. Dengan demikian jumlah hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang diriwayatkan oleh
‘Umar bin Khatthab.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan,
bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits
tidak lebih banyak dibandingkan bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan
pada zaman ‘Umar bin Khatthab. Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada
umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak
begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap “longgar”
dalam periwaytan hadits. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi ‘Usman
tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena wilayah Islam telah makin luas.
Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan pengendalian
kegiatan periwayatan hadits secara ketat.
d.
Ali bin Abi Thalib.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun
tidak jauh berbeda dengan sikap para
khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah
bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang
bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu
benar-benar dari Nabi saw. hanyalah terhadap yang benar-benar telah
diparcayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam
periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah sebagai syarat muthlak keabsahan
periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan
riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin keliru.
‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup
banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya selain dalam
bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan,
isinya berkisar tentang hukuman denda (diyat), pembahasan orang Islam
yang ditawan oleh orang kafir, dan larang melakukan hokum kisas (qishash)
terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan
hadits melalui riwayat ‘Ali bin Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits.
Sebagian mant dari hadits tersebut berulang-ulang karena perbedaan sanad-nya.
Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan
periwayat hadits yang terbanyak bila dibandingkan dengan ke tiga khalifah
pendahulunya.
Dilihat dari kebijaksanaan
pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits pada zaman khalifah
‘Ali bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat
Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan siatuasi pada zaman sebelumnya. Pada
zaman Ali, pertentang politik dikalangan umat Islam telah makin menajam.
Peperangan antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah
terjadi. Hal ini membawa dampak negative dalam bidang kegiatan periwayatan hadits.
Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.
Dari urai di atas dapat disimpulkan,
bahwa kebijaksanaan para khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits
adalah sebagai berikut:
a.
Seluruh khalifah sependapat tentang
pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadits
b.
Larangan memperbanyak hadits,
terutama yang ditekankan oleh khalifah ‘Umar, tujuan pokoknyaialah agar
periwayat bersikap selektif dalam meriwayatakan hadits dan agar masyarakat
tidak dipalingkan perhatiannya dari al-Qur’an
c.
Penghadiran saksi atau mengucapkan
sumpah bagi periwayat hadits merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat
hadits. Periwayat yang dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani
kewajiabn mengajukan saksi atau sumpah
d.
Masing-masing khalifah telah
meriwayatkan hadits. Riwayat hadits yang disampaikan oleh ketiga khalifah yang
pertama seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya ‘Ali yang meriwayatkan hadits
secara tulisan disamping secara lisan.
Adapun penulisan hadits pada masa Khulafa
al-Rasyidin masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun
pernah khalifah umar bin khattab mempunyai gagasan untuk membukukan hadits,
namun niatan tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah.
Para shahabat tidak melakukan
penulisan hadits secara resmi, karena pertimbang-pertimbangan:
a. Agar
tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian shahabat
masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak pada
urusan pengumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi mush-haf.
b. Para
shahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits
C.
sejarah perkembangan hadits pada masa tabi’in
Pada
dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda
dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka , bagaimanapun mengikuti jejak
para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi
mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an
sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain , usaha yang telah dirintis
oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa Kekhalifaan
Usman para sahabat ahli hadis menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam.
Kepada merekalah para Tabi’in mempelejari hadis.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan
islam sampai meliputi Mesir,Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan
Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan
pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat kedaerah-daerah
tersebut terus meningkat, sehingga pada masa ini dikenal dengan masa
menyebarnya periwayatan hadis (istisydar
al-riwayah ila al-amshdar).
1.
Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam
periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis.
Kota-kota tersebut, ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir,
Maghribi, dan Andalaus, Yaman dan Khurusan. Dari sejumlah para sahabat pembina
hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup
banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas ibn Malik, Aisyah,
Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri.
2. Pergolakan
Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada msa sahabat, setelah
terjadinya perang Jamal dan perang
Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi
akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam
kedalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas
yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
Langsung atau tidak ,dari pergolakan politik seperti di
atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya.
Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu (Maudhu’) untuk mendukung kepentingan
politiknya masing-masung kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun
pengaruh yang bersifat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yangmendorong
diadakannya kodifikasi atau tadwin
hadis, sebagai upaya penyelematan dari pemusnahan dan pemalsuan,sebagai akibat
dari pergolakan politik tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar