Selasa, 31 Mei 2016

Makalah : Perkembangan Hadits Qobla Tadwin

PERKEMBANGAN HADITS QOBLA TADWIN
karya : Desi Nurull, dkk
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Kaum muslimin meyakini bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaannya merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri.
Secara historis perjalanan hadits tidak sama dengan perjalanan al-Qur`an.  Jika  Al-Qur`an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadits. Jika al-Qur`an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian dengan hadits.
Berita tentang perilaku Nabi Muhammad Saw baik berupa sabda, perbuatan maupun sikapnya didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada  sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan.  Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi’in ( satu generasi di bawah sahabat). Berita tersebut disampaikanlagi kepada murid-muridnya dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi’ut tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadits ( mudawwin).
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya naskah al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H).
Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.
Dengan demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Qur’an yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah Saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq   yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99 – 101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, kami akan membahas tentang “Perkembangan Hadits Qabla Al-Tadwin” dalam makalah ini

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa itu Qabla Al-Tadwin ?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Rasulullah?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa sahabat?
4.      Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Tabi'in?

C.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa pengertian dari qabla al-tadwin
2.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan hadits pada masa rasulullah
3.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan hadits pada masa sahabat
4.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan hadits pada masa Tabi’in




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Qabla Al-Tadwin (Kodifikasi)
Dalam bahasa Indonesia, kodifikasi memiliki arti “Klasifikasi hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dalam buku undang-undang yang baku”. Sedangkan Kodifikasi dalam bahasa Inggris berasal dari  codification yaitu suatu kata benda (noun) yang berarti “kodifikasi, penyusunan (undang-undang dan sebagainya) menurut suatu system.”
Kemudian kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tadwin, yang berasal dari kata dawwana, yudawwinu, tadwina, artinya membuktikan, mendaftarkan atau menulis dan mencatat. Secara bahasa tadwin diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ al-shuhuf). secara luas tadwin diartikan dengan al-Jam’u (mengumpulkan). Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagaimana yang dikutip oleh Munzeir Saputra dalam bukunya “Ilmu Hadits”. Sebagai berikut:
تقييد المتفرق المشتت وجمعه فى ديوان او كتاب تجمع فيه الصحوف
“Mengikat  yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan tau kitab yang terdiri dari lemberan-lembaran”
Sedangkan secara istilah, tadwin digunakan untuk makna penyusunan dan pembukuan (التصنيف و التألف). Manna al-Khattan mengatakan bahwa tadwin adalah mengumpulkan shahifah (lembaran-lembaran) yang sudah tertulis dan yang dihafal dalam dada, lalu menyusunnya menjadi sebuah buku. Adapula yang mengartikan kodifikasi hadits dengan proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi khalifah  (Umar bin Abdul Aziz)
Sejarah hadits pra kodifikasi atau qabla al-tadwin maksudnya adalah sejarah hadits sebelum dibukukan, mulai dari zaman Rasul sampai pada masa ditetapkannya pembukuan hadits secara resmi (tadwin).

B.     sejarah perkembangan hadits pada Masa Rasulullah
Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehatian-hatian  para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
 Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada rosul di jelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af ‘al), dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan di saksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasulullah SAW merupakn contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
Kedudukan hadist dalam sumber ajaran Islam adalah yang kedua dan itu telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah hanya ada sekelompok kecil dari kalangan “ulama” dan umat islam yang menolak hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam yang kedua. Mereka dikenal sebagai inkar al-sunnah.

a.    Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistimewaaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya . Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadist dari  Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Antara Rasulullah Saw dengan mereka tidak ada jarak yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada protokolan-protokolan yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak ada di rumah. Yakni tak boleh mereka terus masuk kerumah  dan berbicara dengan istri-istri Nabi, tanpa hijab.
Nabi SAW menggauli mereka di rumah, dimesjid, dipasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan,dan taqrir nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan ini sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan.
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musyahadah).
Rasulullah saw dalam menyampaikan dakwahnya kepada para sahabatnya tidak menyimpang dari metode al-Qur’an karena Rasulullah saw adalah penyampai  kitab Allah (al-Qur’an), penjelas hukum-hukumnya, dan penerang ayat-ayatnya.
Beliau menyampaikan kepada kaumnya dan orang-orang yang ada disekitarnya. Beliau merinci ajaran-ajaran Islam, menerapkan hukum-hukum al-Qur’an. Sepanjang hidupnya, beliau berperan sebagai Pengajar, Hakim, Qadhi, Mufti, dan Pemimpin. Segala hal yang berkaitan dengan umat Islam, yang kecil maupun yang besar, dan segala yang menyangkut pribadi dan jamaah dalam berbagai lapangan kehidupan yang tidak disebut dal al-Qur’an, tercakup dalam As-Sunnah: amaliyah (perbuatan), qauliyah (ucapan), atau taqririyah (izin). Dari sinilah kita menemukan hukum-hukum, norma-norma akhlak, ibadah-ibadah, dan cara mendekatkan diri kepada Allah  yang disyari’atkan,  dipraktekkan dan disunnahkan selama seperempat abad.
Dalam membina para shahabat, Rasulullah saw menjadikan rumah al-Arqam sebagai tempat pembinaan para shahabat pada masa-masa dakwah secara sembunyi-sembunyi. Kaum muslimin generasi awal berkerumun di sekeliling beliau, jauh dari kaum musyrikin untuk mempelajari kitab Allah swt. Kepada mereka beliau mengajarkan dasar-dasar Islam dan menyampaikan wahyu al-Qur’an. Setelah itu tempat tinggal Rasulullah saw di Makkah menjadi tempat barkumpul (nadwah) dan institusi (ma’had) mereka untuk menerima al-Qur’an dan menyerap hadits yang mulia, lansung dari Rasulullah saw.
 Nabi saw sebagai Rasul, sangat disegani dan ditaati oleh para shahabat, sebab mereka sadar bahwa mengikuti Rasul dan sunnahnya adalah keharusan dalam berbakti kepada Allah swt. Oleh karena itu para shahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menerima segala yang diajarkan Nabi saw baik berupa wahyu al-Qur’an maupun haditsnya. Dan  disamping dorongan keagamaan, mereka juga mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang teguh serta mempunyai kecerdasan dan kecepatan dalam memahami sesuatu.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah selalu mangutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Rasul untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka ke kampung, merekapun segera mengejarkan kawan-kawannya sekampung. Hal ini menerangkan, bahwa para shahabat benar-benar memperhatikan gerak gerik Nabi dan sangat memerlukannya untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi.  Mereka meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menta’ati Nabi saw.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa hadits diterima para shahabat dengan secara lansung maupun tidak lansung dari segala cara hayat Nabi saw. Penerimaan hadits secara langsung misalnya sewaktu nabi memberikan ceramah, pengajian, khutbah dan penjelasan terhadap pertanyaan para shahabat. Adapun yang tidak lansung, seperti mendengar dari shahabat lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan Nabi saw ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi saw. Para shahabat setelah menerima hadits Nabi saw dalam memelihara hadits-hadits yang mereka terima, mereka berpegang pada kekuatan hafalan.
 Pada masa Nabi saw., kepandaian tulis baca dikalangan para shahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Oleh karena kecakapan tulis baca di kalangan shahabat masih kurang, maka Nabi menekankan untuk menghafal hadits, memahami, memelihara, mematerikan atau memantapkan dalam amalan sehari-hari, serta mentablighkannya kepada orang lain.
Nabi bersabda :
Artinya :“Mudah-mudahan Allah  mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku lalu dihafalnya, difahaminya, dan disampaikannya kepada orang persis sebagai yang didengarnya, karena banyak sekali orang yang kepadanya disampaikan berita lebih paham dari yang mendengarnya sendiri.” (HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi)
Dengan demikian, periwayatan hadits pada masa Nabi saw pada umumnya secara musyafahah-musyahadah, menerima secara lisan, menginventarisir dan memelihara dalam hafalan dan amalannya, serta menyampaikannya secara lisan pula.
Para shahabat tidak sederajat dalam menerima dan mengetahui hadits dari Nabi saw karena adanya faktor tempat tinggal, pekerjaan, usia, dan hal lainnya. Ada sahabat yang banyak mengetahui hadits karena lama berjumpa dan berdialog dengan Nabi saw dan ada yang sedikit saja menerima hadits.
Adapun Para shahabat yang banyak menerima hadits dari Nabi saw antara lain:
a.      Yang mula-mula masuk Islam (assabiqunal awwalun), seperti: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Abdullah bin Mas’ud.
b.     Yang selalu menyertai Nabi saw dan berusaha keras menghafalnya, sepertia; Abu Hurairah; yang mencacatnya, seperti : Abdullah ibn Amr ibn Ash.
c.      Yang lama hidupnya sesudah Nabi saw., dapat menerima hadits dari sesame shahabat, seperti: Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas.
d.     Yang erat hubungannya dengan Nabi saw., yaitu ummu al-Mu’minin, seperti : Aisyah, Ummu Salamah.
Terhadap Hadits, Nabi memerintahkan untuk dihafal dan ditablighkan dengan tidak boleh sama sekali mengubahnya, tapi tidak menyelenggarakan penulisan secara resmi seperti penulisan al-Qur’an.
Sebab-sebab penulisan Hadits tidak diselenggarakan secara resmi pada masa Nabi saw.
adalah:
1.    Agar tidak ada kesamaran terhadap al-Qur’an dan menjaga agar tidak bercampur antara catatan al-Qur’an dengan hadits. Karena al-Qur’an dihafal dan ditulis sedangkan hadits dihafal juga.
2.    Pencatatan al-Qur’an yang beransur-ansur turunnya memerlukan perhatian dan pengerahan tenaga penulis yang kontinyu, sedang shahabat yang pandai menulis sangat terbatas, maka tenaga yang ada dikhususkan untuk menulis al-Qur’an.
3.    Menyelenggarakan pemeliharaan hadits dengan hafalan tanpa tuliasan secara keseluruhan berarti memlihara kekuatan hafalan di kalangan umat islam atau bangsa Arab yang sudah terkenal kuat hafalannya.
4.    Penulisan hadits dengan segala ucapan, amalan, muamalah dan sebagainya merupakan hal yang sulit sekali secara teknis, dibutuhkan adanya penulis yang harus terus menerus menyertai Nabi saw dalam segala hal.

b.    Masalah larangan dan kebolehan menulis hadits
M. Ajaj Al-Khatib di dalam bukunya “As-Sunnah qabla at-Tadwin mengemukakan hadits-hadits Rasulullah saw, tentang penulisan hadits, baik yang melarang penulisan maupun yang membolehkannya.
1.   Hadits-hadits yang melarang Penulsan Hadits
Abu Sa’id al-Hudzri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Janganlah kalian menulis (hadits) dariku, dan barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya.”
Ini adalah hadits Rasulullah saw yang paling shahih tentang larang menulis hadits.
2.   Hadits-hadits yang membolehkan Penulisan
Abdullah bin Amr bin al-Ash r.a. berkata, “Saya menulis segala yang saya dengar dari Rasulullah saw. saya hendak menghafalnya, namun orang-orang Quraisy melarangku. Mereka berkata, ‘Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw, sedangkan beliau manusia yang kadang kala berbicara dalam keadaan marah dan senang. ‘Saya pun berhenti menulis. Kemudian saya ingat kepada beliau, ketika beliau menunjukkan jari ke mulutnya dan bersabda:
Artinya : “Tulislah! Maka demi Allah yang jiwaku berada ditanganNya, tidak keluar darinya (mulut) kecuali kebenaran.”
Terhadap perbedaan pendapat dan dalil-dalil Hadits tersebut diatas para ulama telah mengadakan penela’ahan, analisis, pembahasan atau memunaqasahkan sampai diketahui ketentuan hukum dari penulisan hadits tersebut, sebagai berikut:
1.    Larangan penulisan hadits berhubungan dengan soal hafalan dan pemeliharaannya, mereka berpendapat:
a.    Penulisan hadits dilarang untuk memeluhara daya hafalan bangsa Arab yang kuat; kalau sudah tergantung pada catatan, maka kekuatan hafalannya akan berkurang, sehingga dengan demikian menulis hadits tidak dibolehkan.
b.    Kelau menulis hadits untuk sekedar penghafalan dan kalu sudah dihafal lalu dihapus, maka dibolehkan menulis hadits tersebut.
c.    Larangan menulis hadits adalah bagi yang kuat ingatan atau hafalan dan yakin tidak akan lupa, maka bagi yang takut lupa diperbolehkan menulis hadits.
2.    Titik sasaran/persoalan larangan penulisan hadits terletak pada soal kekhawatiran tercampurnya antara al-Qur’an dan al-Hadits, maka ada pendapat yang menyatakan.
a.       Pada permulaan Islam, karena kekhawatiran itu lebioh menonjol, maka penulisan hadits dilarang, tapi setelah bilangan umat Islam semakin banyak dan mereka mampu membedakan antara al-Qur’an dna Hadits, maka larangan itu sudah tidak perlu lagi dan diizinkanlah penulisan Hadits itu.
b.      Penulisan Hadits dilarang bagi penulisan wahyu dan al-Qur’an atau kepada siapa yang menulis Haditsnya ditempat yang sama dengan catatan al-Qur’an.
c.       Sedangkan larangan penulisan Hadits berlaku pada saat al-Qur’an diturunkan, maka diwaktu selain/setelah itu, penulisan hadits diizinkan.
d.      Penulisan hadits dilarang atau tidak dilakukan adalah untuk menyelenggarakan penulisan secara formal sebagai tadwin al-Qur’an, tapi diperbolehkan dan dilakukan untuk keperluan perorangan.

B.       sejarah perkembangan hadits pada masa sahabat
Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan  Hadits yang harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi saw wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan shahabat Nabi. Shahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as- Shiddiq ( wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut juga dengan zaman shahabat besar
Para shahabat mengetahui kedudukan As-Sunnah sebagai sumber syari’ah pertama setelah Al-Qur’anulkarim. Mereka tidak mau menyalahi as-Sunnah jika as-Sunnah itu mereka yakini kebenarannya, sebagaimana mereka tidak mau berpaling sedikitpun dari as-Sunnah warisan beliau. Mereka berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari Nabi saw. karena khawatir berbuat kesalahan dan takut as-Sunnah yang suci itu ternodai oleh kedustaan atau pengubahan. Oleh karena itu mereka menempuh segala cara untuk memelihara hadits, mereka lebih memilih bersikap “sedang dalam meriwayatkan hadits” dari Rasulullah., bahkan sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “sedikit dalam meriwayatkan hadits”. Periode shahabat disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwayah” yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat.
Dalam prakteknya, cara shahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a.         Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi saw yang mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi saw.
b.        Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi saw.
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits Nabi.
a.    Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu Bakar merupakan shahabat Nabi yang pertama menunjukkan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan prektek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para shahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetabkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadits Nabi saw yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.
Kasus di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadits, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadits terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Putri Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadits. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadits. Hal ini menjadi bukti sikap kehari-hatian Abu Bakar dalam periwayatan hadits.
Data sejarah tentang kedataan periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada masa pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada itu tidak sedikit shahabat Nabi, khususnya yang hafal Qur’an, telah gugur di berbagai peperangan. Atas desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan al-Qur’an (jam’ al-Qur’an).
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada pemerikasaan hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat.

b.   Umar bin al-Khatthab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadits. Hal ini terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para shahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadits ini.
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu Musa al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain. Kesemua itu menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan hadits.
Disamping itu, Umar juga menekankan kepada para shahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an.
Kebijakan Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadits, sesungguhnya tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan hadits. Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: [a] agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, [b] agar perhatian masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu. Hal ini diperkuat oleh bukti-bukti berikut ini:
1.   Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari hadits Nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih menetahui tentang kandungan al-Qur’an.
2.   Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi, Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga ratus hadits. Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama shahabat dan tabi’in terkenal yang telah meneriam riwayat hadits Nabi dari Umar. Ternyata jumlahnya cukup banyak.
3.   Umar pernah merencanakan menghimpun hadits nabi secara tertulis. Umar meminta pertimbangan kepada para shahabat. Para shahabat menyetujuinya. Tetapi satu bulan umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan melakukan shalat istikharah, akahirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia khawatir himpunan hadits itu akan memalingkan perhatian umat Islam dari al-Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak nenampakkan larangan terhadap periwayatan hadits. Niatnya menghimpun hadits diurungkan bukan karena alas an periwayatan hadits, melainkan karena factor lain, yakni takut terganggu konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada zaman Umar bin al-Khatthab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Hal ini bukan hanya disebabkan karena umat islam telah lebih banyak menghajatkan kepada periwayatan hadits semata, melainkan juga karena khalifah Umar telah pernah memberikan dorongan kepada umat islam untuk mempelajari hadits Nabi. Dalam pada itu para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam melakukan periwaytan hadits, karena Umar  telah melakukan pemeriksaan hadits yang cukup ketat kepad para periwayat hadits. Umar melakukan yang demikian bukan hanya bertujuan agar konsentrasi umat Islam tidak berpaling dari al-Qur’an, melainkan juga agar umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadits. Kebijakan Umar yang demikian telah menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan-pemalsuan hadits.

c.         Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin Khatthab.
‘Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat ‘Usman sekitar empat puluh hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang terulang, karena perbedaan sanad. Matn hadits yang banyak terulang itu adalah hadits tentang berwudu’. Dengan demikian jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khatthab.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak dibandingkan bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman ‘Umar bin Khatthab. Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap “longgar” dalam periwaytan hadits. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi ‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena wilayah Islam telah makin luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.

d.        Ali bin Abi Thalib.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak  jauh berbeda dengan sikap para khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar dari Nabi saw. hanyalah terhadap yang benar-benar telah diparcayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah sebagai syarat muthlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin keliru.
‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda (diyat), pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larang melakukan hokum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits. Sebagian mant dari hadits tersebut berulang-ulang karena perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadits yang terbanyak bila dibandingkan dengan ke tiga khalifah pendahulunya.
Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan siatuasi pada zaman sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang politik dikalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini membawa dampak negative dalam bidang kegiatan periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.

Dari urai di atas dapat disimpulkan, bahwa kebijaksanaan para khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits adalah sebagai berikut:
a.         Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadits
b.         Larangan memperbanyak hadits, terutama yang ditekankan oleh khalifah ‘Umar, tujuan pokoknyaialah agar periwayat bersikap selektif dalam meriwayatakan hadits dan agar masyarakat tidak dipalingkan perhatiannya dari al-Qur’an
c.         Penghadiran saksi atau mengucapkan sumpah bagi periwayat hadits merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadits. Periwayat yang dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiabn mengajukan saksi atau sumpah
d.        Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits yang disampaikan oleh ketiga khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya ‘Ali yang meriwayatkan hadits secara tulisan disamping secara lisan.

Adapun penulisan hadits pada masa Khulafa al-Rasyidin masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah umar bin khattab mempunyai gagasan untuk membukukan hadits, namun niatan tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah.
Para shahabat tidak melakukan penulisan hadits secara resmi, karena pertimbang-pertimbangan:
a.    Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian shahabat masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi mush-haf.
b.    Para shahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits
C.     sejarah perkembangan hadits pada masa tabi’in
Pada  dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka , bagaimanapun mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain , usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa Kekhalifaan Usman para sahabat ahli hadis menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelejari hadis.
Ketika pemerintah  dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam sampai meliputi Mesir,Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (istisydar al-riwayah  ila al-amshdar).
1.      Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi, dan Andalaus, Yaman dan Khurusan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri.
2.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada msa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal  dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam kedalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
Langsung atau tidak ,dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu (Maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masung kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.

Adapun pengaruh yang bersifat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yangmendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelematan dari pemusnahan dan pemalsuan,sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar