Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
dan
Abu Ishaq Al-Syatibi
karya; Erina dan Erni
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Begitu banyak kajian mengenai bidang ekonomi sehingga kata-kata ekonomi
begitu familiar terdengarnya. Ekonomi merupakan salah satu bidang yang tidak
bisa terpisahkan dari kehidupan umat manusia sejak zaman dahulu hingga saat ini
dan masa yang akan datang. Kajian
mengenai ekonomi dan segala bentuk
pemikirannya sudah ada sejak masa
pemerintahan Rasulullah Saw.
Para ilmuan dalam bidang ekonomipun
begitu banyak jumlahnya baik itu yang berasal dari kalangan kaum Muslim ataupun
para ilmuan Barat. Namun yang lebih sering dikaji dibanyak Universitas atau
lembaga pendidikan yaitu kajian ekonomi yang bersifat umum atau dalam segi
sejarah lebih banyak yang membahas sejarah versi dunia barat bukan dunia islam.
sehingga pengetahuan masyarakat khususnya mahasiswa mengenai para pakar ekonomi
dari kalangan kaum Muslim begitu sedikit, untuk itu dalam bahasan makalah ini
penulis mengkaji mengenai sejarah pemikiran ekonomi dari dua ilmuan Muslim yaitu Abu Ubaid dan
Abu Ishaq Al-Syatibi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah dipaparkan di atas adapun rumusan masalahnya yaitu :
a. Bagaimana Sejarah
Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid?
b. Bagaimana Sejarah
Pemikiran Ekonomi Abu Ishaq Al-Syatibi?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas adapun tujuan dari pemaparan masalah ini yaitu:
a. Untuk Mengetahui Sejarah
Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
b. Untuk Mengetahui
Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ishaq Al-Syatibi
D. Manfaat
Berdasarkan rumusan
masalah dan tujuan pembahasannya adapun manfaat yang bisa diambil bagi penulis
dari penulisan makalah ini yaitu semakin bertambahnya pengetahuan mengenai
sejaran pemikiran ekonomi Islam para cendekiawan Muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid (154-224 H)
a.
Riawayat Hidup
Abu ubaid yang dikenal sebagai bapak ekonomi Islam pertama. Nama
lengkapnya adalah Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi
Al-Baghdadi. Ia dilahirkan pada tahun 150 H di kota Harrah, Khusuran, sebelah
barat laut Afghanistan. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya karena
berkembangnya madzhab Hanafi, dan pada usia 20 Tahun, Abu Ubaid pergi untuk
menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, dan Baghdad. Ilmu-ilmu
yang dipelajarinya, antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at,
tafsir, hadis, dan fiqh. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Malik, Gubernur Thugur
pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai
qadhi (hakim) Di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab AL-amwal
ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia
menetap di Mekkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqh
(fuqaha) terkemuka pada masa hidupnya. Selama menjabat qadhi di Tarsus, ia
sering menangani berbagai kasus pertahanan dan perpajakan serta
menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap
kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa Arab
juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit banyak menguasai bahasa
tersebut.
Karena sering terjadi pengutipan kata kata Amr dalam Kitab Al-Amwal,
tampaknya, pemikiran-pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman
ibn Amr-Al-Awza’i, serta ulama-ulama Suriah lainnya semasa ia menjadi qadhi di
Tarsus. Kemungkinan ini, antara lain, dapat ditelusuri dari pengamatan yang
dilakukan Abu Ubaid terhadap permasalahan militer, politik, dan fiskal yang
dihadapi pemerintah daerah Tarsus.
Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung
tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya.
Sekalipun demikian, Kitab Al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya daripada Kitab
Al-Kharaj dalam hal kelengkapan hadis dan pendapat para sahabat, tabi’in, dan
tabi’it tabi’in. Dalam hal ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih
tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika polirik suatu
pemerintahan daripada teknik efisiensi pengelolaannya.
b. Pemikiran Ekonomi
Filosofi yang
dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan
sosial, politik, dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan
praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat profesional dan
teknokrat yang bersandar pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa
menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradab, pandangan-pandangan
Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari
pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia di
dunia dan di akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial.
Berdasarkan hal
tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendikiawan muslim yang
terkemuka pada awal abad ketiga Hijriah (abad Kesembilan Masehi) yang
menetapkan revitilisasi sistem perekonomian berdasarkan Al-Quran dan hadis
melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan intitusinya. Dengan kata
lain, umpan balik dari teori sosio politik-ekonomi islami, yang berakar dari
ajaran Al-Quran dan hadis mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan
dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid.
Berkat
pengetahuan dan wawasannya yang begitu luas dalam beberapa bidang ilmu,
beberapa ulama Syafi’iyah dan Hanabillah mengklaim bahwa Abu Ubaid berasal dari
madzhab mereka, walaupun fakta-fakta menunjukan bahwa Abu Ubaid adalah seorang
fuqaha yang independen. Dalam Kitab Al-Amwal, Abu Ubaid tidak sekalipun
menyebut nama Abu Abdullah Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i maupun nama Ahmad ibn
Hanbat sebaliknya, Abu Ubaid sering mengutip pandangan Malik ibn Anas, salah
seorang gurunya yang juga guru Asy-Syafi’i. Di samping itu, ia juga mengutip
beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad ibn Al-Hasan
Asy-Syaibani, tetapi hampir seluruh pendapat mereka ditolaknya.
Di sisi lain,
Abu Ubaid pernah dituduh oleh Husain ibn Ali Al-Karabisi sebagai seorang
plagiator terhadap karya-karya
Asy-Syafi’i, termasuk dalam hal
penulisan Kitab Al-Amwal. Akan tetapi, kebenaran hal ini sangat sulit untuk
dibuktikan mengingat Abu Ubaid dan Asy-Syafi’i (termasuk Ahmad ibn Hanbal)
pernah belajar dari ulama yang sama, bahkan mereka saling belajar satu sama
lainnya. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika terdapat kesamaan dalam
pandangan-pandangan antara kedua tokoh besar tersebut, sekalipun kadang-kadang
Abu Ubaid mengambil posisi yang bersebrangan dengan Asy-Syafi’ii dengan tanpa
menyebut nama.
Secara utuh,
pemikiran Abu Ubaid tertuang dalam Kitab Al-Amwal, kitab ini dibagi ke dalam
beberapa bagian dan bab yang tidak proporsional isinya. Pada bab pendahuluan,
Abu Ubaid secara singkat membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap
rakyatnya serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahannya, dengan studi
khusus mengenai kebutuhan terhadap suatu pemerintahan yang adil. Pada bab
selanjutnya yang merupakan bab pelengkap, kitab ini menguraikan berbagai jenis
pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta
berbagai landasan hukumnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam bab ini, Abu
Ubaid memberikan prioritas pada pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah,
seperti fai dan bagoan khums serta pengakolasiannya, baik pada masa Rasulullah
SAW. Maupun setelahnya. Oleh karena itu, pada bagian-bagian berikutnya, ketiga
hal tersebut menjadi kerangka dasar pemikiran dalam kitab ini ketika membahas
tiga sumber utama penerimaan negara, yakni fai, khums, dan shadaqah, termasuk
zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan
mendistribusikannya kepada masyarakat.
Tiga bagian
pertama dari Kitab Al-Amwal meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan fai.
Dalam hal ini, menurut Abu Ubaid, fai juga mencakup pendapatan negara yang
berasal dari jizyah, kharaj, dan ushr, tetapi ushr dibahas dalam bab shadaqah.
Adapun ghanimah, (harta tampasan perang) dan fidyah (tebusan untuk tawanan
perang), pembahasannya masuk dalam bab fai.
Pada bagian
keempat, sesuai dengan perluasan wilayah Islam pada masa klasik, Kitab Al-Amwal
berisi pembahasan mengenai pertahanan, administrasi, hukum internasionall, dan
hukum perang. Setelah bagian kelima membahas distribusi pendapatan, bagian
keenam kitab tersebut membhas ihya al-amwat, dan hima. Dua bagian terakhir ini
masing-masing disediakan untuk membahas khums dan shadaqah.
Secara singkat
dapat dikatakan bahwa Kitab Al-Amwal secara khusus memfokuskan perhatiannya
pada masalah keuangan publik (public finance) sekalipun mayoritas materi yang
ada di dalamnya membahas permasalahan administrasi pemerintahan secara umum.
Al-Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum pertahanan serta
hukum administrasi dan hukum internasional. Oleh karena itu, pada dua abad
pertama sejak Islam diturunkan, kitab ini menjadi salah satu referensi utama
tentang pemikiran hukum ekonomi di kalangan para cendikiawan muslim.
Secara umum,
pada masa hidup Abu Ubaid, pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang paling
baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan, dan sumber utama pendapatan
negara. Hal ini menjadikan masalah perbaikan sektor pertanian menjadi isu
utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi dalam pengertian modern. Oleh karena
itu, Abu Ubaid mengarahkan sasarannya pada persoalan legitimasi
sosio-politik-ekonomi yang stabil dan adil.
Kitab Al-Amwal
memberikan informasi penting mengenai kesuksesan suatu pemerintahan dalam
menerapkan berbagai kebijakan, sepertinya pemerintahan Khalifah Umar ibn
Khattab yang berhasil membangun dasar-dasar sistem perpajakan dan pemerintahan Khalifah
Umar ibn Abdul Aziz yang berhasil memperbaiki serta menata ulang sistem
perpajakan yang telah sekian lama rusak. Jika merujuk pada format dan
metodologi Kitab Al-Amwal, di dalam setiap bab, Abu Ubaid menampilkan berbagai
ayat, hadis nabi, serta pendapat para sahabat dan tabi’in bersama-sama dengan
pendapat para fuqaha. Dalam hal ini, sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang
muhaddits, Abu Ubaid melakukan serangkaian penelitian terhadap hadis-hadis,
baik dari sisi sanad maupun matan. Di sisi lain, kadang-kadang ia melakukan
penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasinya sebagai
pengganti teks tersebut. Ia juga membahas beberapa hal yang masih diragukan
serta menjelaskan berbagai istilah asing jika ada.
Di samping
seorang ahl al-hadits, Abu Ubaid juga merupakan seorang Ahl Ar-Ra’y.
Dalam setiap isu, Abu Ubaid selalu mengacu pada hadis-hadis serta interpretasi
dan pendapat para ulama yang terkait, kemudian melakukan kritik terhadapnya
dengan melakukan evaluasi terhadap kekuatan ataupun kelemahannya. Setelah itu,
ia akan memilih salah satu pendapat yang ada atau, jika ada, melakukan ijtihad
sendiri yang didukung oleh hadis-hadis. Kadang-kadang, ia juga akan membiarkan
para pembaca kitabnya untuk bebas memilih, apakah mengikuti pendapatnya atau
dari salah satu pendapat alternatif yang ia anggap valid. Abu Ubaid yang
dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena keandalannya dalam
melakukan istinbath hukum dari Al-Quran dan Hadis, dapat menghasilkan suatu
karya yang berkaitan dengan perpajakan, pada masa awal pembentukan
mazhab-mazhab.
Jika isi kitab
Al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid,
pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kesejahteraan ekonomi
dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendeketan yang
berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara; jika kepentingan
individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak pada
kepentingan publik.
Tulisan-tulisan
Abu Ubaid yang lahir pada masa keemasan dinasti Abbasiyah menitikberatkan pada
berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu
kebijakan atau wewenangnya dalam memutuskan suatu perkara selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam dan kepentingan kaum muslim. Berdasarkan hal
ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara
ataupun langsung kepada para penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus
diberikan kepada pemerintah. Jika tidak, kewajiban agama diasumsikan tidak
ditunaikan. Di samping itu, Abu Ubaid mengakui otoritas penguasa dalam
memutuskan, demi kepentingan publik, apakah akan membagikan tanah taklukan
kepada para penakluk atau membiarkan kepemilikannya tetap pada penduduk
setempat. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa seorang penguasa yang adil dapat
memperluas berbagai batasan yang telah ditentukan apabila kepentingan publik
sangat mendesak.
Di sisi lain,
Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh
disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.
Dengan kata lain, perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan
publik. Ketika membahas tarif atau persentase untuk kharaj dan jizyah, ia
menyinggung pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk
nonmuslim yang dalam terminologi finansial modern disebut sebagai capacity
to pay dengan kepentingan golongan muslim yang berhak menerimanya. Kaum
muslim dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk nonmuslim melebihi apa
yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.
Abu Ubaid juga
menyatakan bahwa tarif pajak kontraktural tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan
apabila terjadi ketidakmampuan membayar. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa jika
seorang penduduk non muslim mengajukan pemohonan bebas utang dan dibenarkan
oleh saksi muslim, barang perdagangan penduduk non muslim tersebut yang setara
menekankan kepada petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushyr, atau zakat untuk
tidak menyiksa masyarakatnya, dan di sisi lain, ia menekankan
masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan sepantasnya.
Dengan kata lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi
dan
penindasan dalam perpajakan serta upaya penghindaran pajak (tax evasion).
Pembahasan
mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi
pendapatan fai. Abu Ubaid
menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum badui, kaum urban (perkotaan) ikut
serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administratif dari
semua kaum muslim; memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi
jiwa dan harta, mereka menggalakkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar
Al-Quran dan Sunnah serta penyebaran keunggulannya; memberikan kontribusi
terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud,
memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah.
Singkatnya, di
samping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara Islam berdasarkan
administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Karakterisistik
tersebut hanya diberikan oleh Allah SWT. Kepada kaum urban (perkotaan). Kaum
badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar fai sebanyak kaum urban. Dalam
hal ini, kaum badui tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dan negara.
Mereka memiliki hak klaim, sementara terhadap penerimaan fai hanya pada saat
terjadi tiga kondisi kritis, yakni ketika terjadi invasi musuh, kemarau panjang
(qa’ihah), dan kerusuhan sipil (faiq). Abu Ubaid memperluas
cakupan kaum badui dengan memasukan golongan masyarakat pegunungan dan
pedesaan.
Di sisi lain,
ia memberikan hak yang sama dengan orang dewasa kepada anak-anak perkotaan
terhadap tunjangan, walaupun kecil, yang berasal dari pendapatan fai. Pemberian
hak ini dilakukan mengingat anak-anak tersebut merupakan penyumbang potensial
terhadap kewajiban publik terkait. Lebih lanjut, Abu Ubaid mengakui adanya hak
para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan untuk tunjangan.
Pandangan Abu
Ubaid tersebut dengan jelas membedakan antara gaya hidup kaum badui dan kultur
menetap kaum urban dan membangun fondasi masyarakat muslim berdasarkan martabat
kaum urban, solidaritas serta kerja sama merasakan komitmen dan kohesi sosial
berorientasi urban, vertikal dan horizontal, sebagai unsur esensial dari stabilitas
sosio-politik dan makroekonomi. Mekanisme tersebut meminjam banyak dari
umiversitas Islam, membuat kultur perkotaan lebih unggul dan dominan dibanding
kehidupan nomaden. Sekalipun demikian, cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak
dapt mengambil langkah selanjutnya serta berspekulasi pada isu-isu pembagian
kerja (division of labor), surplus produksi, pertukaran, dan lainnya yang
berkaitan dengan organisasi perkotaan untuk kerja sama. Sebenarnya, dalam hal
ini, analisis Abu Ubaid fokus dalam memelihara dan menjaga keseimbangan antara
hak dengan kewajiban masyarakat.
Abu Ubaid
mengakui adanya kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid
yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dan kebijakan perbaikan
pertanian. Secara implisit, Abu Ubaid mengemukakan bahwa
kebijakan pemerintahan, seperti iqta’ tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap
kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, merupakan insentif
untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan
dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak,
jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan dikenai denda
kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.
Dalam pandangan
Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput,
dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber
daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
c.
Uang antara Fungsi dan Alat
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni
sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media
pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan :
“
Hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun,
kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling
tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk
membeli sesuatu (infaq).”
Pernyataan
Abu Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengnai
uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak
layak untuk apa pun, kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa.
Tampaknya, Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai
dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang
lainnya. Jika kedua benda tersebut juga digunakan sebagai komoditas,
nilai dari keduanya akan dapat berubah-ubah pula. Karena dalam
hal tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni sebagai
barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang barang
lainnya. Di samping itu, sekalipun tidak menyebutkannya secara jelas, Abu Ubaid
secara implisit mengakui adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai ( store
of value) ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib
terkena zakat.
Salah satu ciri khas Kitab Al-Amwal di antara kitab-kitab lain yang
membahas keuangan publik (public finance) adalah pembahasan
tentang timbangan dan ukuran, yang bisa digunakan dalam menghitung beberapa
kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau denda, dalam satu bab khusus.
Dalam bab ini, Abu Ubaid juga menceritakan usaha Khalifah Abdul Al-Malik ibn
Marwan dalam melakukan standardisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada
dalam sirkulasi.
Jelasnya,
pemikiran Abu Ubaid dalam kitabnya ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang
hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat
lainnya harus dihindari negara agar dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan
mengawasi hak kepemilikan pribadi agar tidak disalah gunakan sehingga tidak
mengganggu atau mengurangi manfaat bagi masyrakat umum.
Pandangan-pandangan Abu Ubaid juga merefleksikan
perlunya memelihara dan mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban
masyarakat, rasa persatuan, dan tanggung jawab bersama. Di samping itu, Abu
Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan
standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.
B. Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ishaq Al-Syatibi (w. 790 H)
a.
Riwayat Hidup
Al-Syatibi
bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan muslim yang belum banyak
diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku arab Lakhmi.
Nama Al-Syatibi
dinisbatkan ke daerah asal keluarnganya, syatibah (xatiba dan jativa), yang
terletak di kawasan spanyol bagian timur.
Al-Syatibi
dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr,
Granada,
yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol.
Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan sultan Muhammad
V Al-Ghani
Billah
yang merupakan masa keemasan umat islam setempat karena Granada
menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan
berdirinya Universitas Granada.
Susasana ilmiah
yang berkembang dengan baik di ibukota tersebut sangat menguntungkan bagi Al-Syatibi
dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam meniti
pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab maliki ini mendalami
berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum
al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum
maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi
memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa arab dari Abu
Abdillah Muhammad Ibn Fakhkhar Al-Biri, Abu Qasim Muhammad Ibn Ahmad
Al-Syatibi, dan Abu Ja’far Ahmad Al-Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan
mendalami hadis dari Abu Qasim Ibn Bina dan Syamsuddin Al-Tilimsani, ilmu kalam
dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al-Miqarri dan Abu
Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Al- Syarif Al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar
Al-Qarsyi Al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq,
dan debat. Disamping bertemu langsung, ia juga melakukan korespondensi untuk
meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada
seorang sufi, Abu Abdillah Ibn Ibad Al-Nafsi Al-Rundi.
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai
ilmu, Al-Syatibi
lebih berminat unutk mempelajari Bahasa Arab
dan, khususnya, ushul fiqih. Ketetarikannya
terhadap ilmu ushul fiqih karena menurutnya meteodelogi dan falsafah fiqih
islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekutan dan kelemahan fiqih dalam
menanggapi perubahan sosial.
Setelah
memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi
mengembangkan potensi kelimuannya dengan mengejarkan kepada para generasi
berikutnya, seperti Abu Yahya Ibn Asim, Abu Bakar Al-Qadi dan Abu Abdillah
Al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti syarh
jalil ‘ala al-khulashah fi al-nahw dan ushul al-nahw dalam berbagai
bahasa arab dan al-muwafaqat fi ushul al-syari’ah dan al-i’tisham
dalam bidang ushul fiqih. Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790
(1388 M).
b.
Konsep Maqhasid Al-Syariah
Sebagai sumber
utama agama islam, al-Quran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Al-Quran dalam
tiga bagian besar, yaitu akidah akhlak dan syariah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan,
akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan aspek hukum yang
muncul dari aqwal (perkataan) dan
af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum
islam diibagi menjadi dua hal, yakni ibadah ( habl min Allah) dan
muamalah (habl min al-Nas).
Al-Quran tidak
memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia hanya
mengandung dasar-dasar atau prinsip-prinsip bagi
berbagai masalah hukum dalam islam. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini,
Nabi Muhammad Saw. Menjelaskan melalui berbagai hadisnya. Kedua sumber inilah (Al-Quran dan
hadis nabi) yang kemudian dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam,
terutama di bidang muamalah. Dalam
kerangka ini, Al-Syatibi mengemukakan konsep Maqashid Al-Syariah.
Secara bahasa, Maqhasid
Al-Syariah terdiri dari dua kata, yakni maqhasid dan al-syari’ah. Maqhasid berarti kesengajaan
atau tujuan, sedangkan Al-Syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula
dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Menurut istilah, Al-Syatibi
menyatakan,
“Sesungguhnya
syariah bertujuan unutk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat.”
Dari pengetian
tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Al-Syatibi adalah
kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakann bahwa tidak satupun hukum Allah Swt. yang
tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan
membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini
diartikannya sebagai segala sesuatu yang
menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa
yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam
pengertian yang mutlak.
Dengan
demikian,kewajiban-kewajiban dalam syariah
menyangkut perlindungan maqashid al-syaria’ah yang pada gilirannya
bertujuan melindungi kemashlahatan manusia. Al-Syatibi
menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baik dengan
cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil
berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih; meupun dengan cara preventif,
seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun
yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.
1.
Pembagian
Maqashid Al-Syariah
Menurut Al-Syatibi,
kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan
manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa akal, keturunan, dan
harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaiatu
dharuruyah, hajiyat dan tahsiniyat.
· Dharuriyat
Jenis maqashid
ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan
manusia di dunia dan di akhirat yang
mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut
akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat
kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan hartadapat
dilakukan dengan cara memelihara
eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan
melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak . sebagai contoh, penuaian
rukun Islam,
pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri masing-masing merupakan
salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan
terhadap eksistensi harta.
· Hajiyat
Jenis maqashid
ini dinamakan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau
menjadikan pemeliharaan yang lebih baik
terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini
antara lain mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad mudharabah, musaqat,
muzara’ah dan bai salam, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya
yang bertujuan unutk memudahkan kehidupan atau menghilangkan kesulitan manusia
di dunia.
· Tahsiniyat
Tujuan jenis
maqhasid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk
menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak
dimaksudkan untuk meneghilangkam atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi
hanya berindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan dalam
berbicara dan bertindak serta
penegmbangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.
2.
Korelasi
antara
Dharuriyat, Hajiyat, Dan Tahsiniyat
Dari hasil
penelaahannya secara mendalam, Al-Syatibi menyimpulkan korelasi antara dharuriyat, hajiyat, dan
tahsiniyat sebagai berikut :
·
Maqhasid
dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
·
Kerusakan
pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pada maqashid hajiyat dan
maqashid tahsiniyat.
·
Sebaliknya,
kerusakan pada maqashid hajiyat dan
maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak
maqashid dharuriyat.
·
Kerusakan
pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang
dapat merusak maqashid dharuriyat.
·
Pemeliharaan
maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat diperlakukan maqashid dharuriyat
secara tepat.
Dengan
demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima
unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqashid tersebut tidak dapat
dipisahkan. Tampaknya, bagi Al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurnaan lagi bagi tingkat dharuriyat,
sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
Pengklasifikasian
yang dilakukan Al-Syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan lima
unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Disamping itu, pengklasifikasian
tersebut juga mengacu pada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang
diciptakan allah swt. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia,
Berkenaan
dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujudnya
aspek dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara
keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan lima
unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai muskallaf dalam merealisasikannya.
Adapun pengebaian terhadap aspek tahsiniyat mengakuibatkan upaya pemeliharaan
lima unsur pokok tidak sempurna. Lebih
jauh, ia menyatakan bahwa segala
aktivitas atau sesuatu yang bersifat
tahsiniyat harus dikesampingkan jika
bertentangan dengan maqashid yang lebih
itnggi (dharuriyat dan hajiyat).
c.
Beberapa Pandangan
Al-Syatibi di Bidang Ekonomi
· Objek kepemilikan
Pada dasarnya, Al-Syatibi
mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap
setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan
bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan
penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorangpun. Dalam hal ini, ia membedakan
dua macam air, yaitu : air yang tidak dapat
dijadikan sebagai objek kepemilikkan, seperti air sungi dan oase; dan
air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia
menyatakan bahwa tidak ada hak
kepemilikkan yang dapat diklaim terhadap sungai
dikarenakan adanya pembangunan
dam.
· Pajak
Dalam pandangan
Al-Syatibi,
pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum).
Dengan mengutip para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, ia
menyatakan
bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab ini,
masyarakat bisa mengalihkanya kepada baitul mal serta menyumbangkan
sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah
dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut
belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.
d.
Wawasan Modern Teori
Al-Syatibi
Dari pemaparan
konsep maqashid al-syariah di atas, terlihat jelas bahwa syariah
menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Al-Syatibi
menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syariah ini. Dengan
kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas
ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan
seperti didefinisikan syariah harus
diikuti sebagai kewajiban agama
untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, seluruh
aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan
(needs).
Pemenuhan
kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan
pencarian terhdap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia
berkewajiban untuk memecahkan ekonomi manusia dalam perspektif Islam
adalah pemenuhan kebutuhan (fullfiment needs) dengan sumber daya alam tersedia.
Bila ditelaah
dari sudut pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep
maqashid al-syariah mempunyai
relevansi yang begitu erat dengan konsep
motivasi. Seperti yang telah kita kenal,
konsep motivasi lahir seiring
dengan munculnya persoalan ”mengapa”
seseorang berprilaku. Motivasi itu sendiri didefinisikan sebagai seluruh
kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan
keinginan, hasrat, dorongan, dan sebagainya. Bila dikaitkan dengan konsep maqashid al syari’ah, jelas bahwa, dalam
pandangan Islam. Motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah
untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat.
Kebutuhan yang belum
terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang
individu akan terdorong untuk berprilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam
dirinya, baik secara psikis maupun psikologis.
Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.
Menurut Maslow,
apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan,
pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal menjadi prioritas.
Dengan kata lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan
dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia
berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya
terdiri dari:
· Kebutuhan fisioligi ( Psysiological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum
terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan
mengeyampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.
· Kebutuhan keamanan (Safety Needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap
gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
· Kebutuhan sosial ( Social Needs), mencakup
kebutuhan akan cinta, kasihsayang, dan persahabatan. Tidak terpenuhinya
kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
· Kebutuhan akan penghargaan (Esteem Needs), mencakup kebutuhan
terhadap penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan
mempengaruhi rasa percaya diri dan presrise seseorang.
· Kebuthan Aktualisasi Diri ( Self-Actualization Needs), mencakup
kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini
merupakan tingkat kebuthan yang paling tinggi.
Dalam dunia
manajemen, kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan Maslow tersebut dapat
diaplikasikan sebagai berikut:
· Pemenuhan kebutuhan fisioligi antara lain dapat diaplikasikan dalam
hal pemberian upah atau gaji yang adil
dan lingkungan kerja yang nyaman.
· Pemenuhan kebutuhan keamanan antara lain dapat diaplikasikan dalam
hal pemberian tunjangan, kemanan kerja dan liingkungan kerja yang aman.
· Pemenuhan kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam
hal dorongan terhadap kerja sama, stabilitas kelompok dan kesempatan
berinteraksi sosial.
· Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat diaplikasikan
dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan signifikansi aktivitas pekerjaan dan pengakuan
publik terhadap performance yang baik.
· Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri antara lain dapat
diaplikasikan dalam hal pilihan berkreativitas dan tantangan pekerjaan.
Bila ditelaah
lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow di atas
sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqashid al-syariah. Bahkan, konsep
yang telah dikemukakan oleh Al-Syatibi mempunyai keunggulan komperatif yang sangat signifikan,
yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar
manusia, satu hal yang luput dari perhatian Maslow. Seperti yang telah
dimaklumi bersama, agama merupakan
fitrah manusia dan menjadi faktor
penentu dalam mengerahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dalam
perspektif Islam, berpijak pada doktrin kegamaan yang menyatakan bahwa
pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan di dunia
dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi
untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan
meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi
Al-Baghdadi atau yang lebih popular dengan sebutan Abu
Ubaid memiliki pemikiran sejarah yang berawal dari respon terhadap
berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi. Ia mengedepankan
dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat
holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Abu
Ubaid juga menetapkan revitilasi sistem perekonomian berdasarkan Al-Quran dan
Hadits melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan intuisinya. Dengan
pemikiran yang luas Abu Ubaid berhasil menumpahkan segala pemikiran dan
kritiknya dalam suatu kitab yang disebut kitab Al-Amwal. Kitab ini berisi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah sampai gaya hidup kaum
badui dan kaum urban. selain itu Abu
Ubaid berpendapat bahwa Uang memiliki dua fungsi, yakni sebagai standar nilai
pertukaran dan media pertukaran.
Sejarah Pemikiran Ekonomi menurut Abu Ishak
al-Syatibi yakni berawal dari ketertarikannya terhadap pelajaran Ushul Fiqih
yang kemudian memunculkan konsep Maqhasid al-Syariah, dalam kosep ini
menempatkan kemaslahatan umat sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh setiap
individu. Konsep ini terdiri dari tiga bagian yaitu Dharuriyat, Hajiyat dan
Tahsiniyat, dimana Dharuriyat menjadi
pokok utama sedangkan Hajiyat dan Tahsiniyat hanya menjadi pelengkap dari
bagian Dharuriyat. Selain melahirkan konsep Maqhasid al-Syariah, al-Syatibi
memiliki pandangan sendiri berkaitan dengan Objek kepemilikan dan Pajak yaitu ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang
dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Contohnya seperti Air Sungai, Oase. Dan pemungutan
pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, B. (2010). Peradaban
Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, A. A. (2004). Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar