Selasa, 31 Mei 2016

Makalah : Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid dan Abu Ishaq Al-Syatibi

Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
 dan Abu Ishaq Al-Syatibi
karya; Erina dan Erni

BAB I PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Begitu banyak kajian mengenai bidang ekonomi sehingga kata-kata ekonomi begitu familiar terdengarnya. Ekonomi merupakan salah satu bidang yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan umat manusia sejak zaman dahulu hingga saat ini dan masa yang akan datang.  Kajian mengenai ekonomi  dan segala bentuk pemikirannya  sudah ada sejak masa pemerintahan Rasulullah Saw.
 Para ilmuan dalam bidang ekonomipun begitu banyak jumlahnya baik itu yang berasal dari kalangan kaum Muslim ataupun para ilmuan Barat. Namun yang lebih sering dikaji dibanyak Universitas atau lembaga pendidikan yaitu kajian ekonomi yang bersifat umum atau dalam segi sejarah lebih banyak yang membahas sejarah versi dunia barat bukan dunia islam. sehingga pengetahuan masyarakat khususnya mahasiswa mengenai para pakar ekonomi dari kalangan kaum Muslim begitu sedikit, untuk itu dalam bahasan makalah ini penulis mengkaji mengenai sejarah pemikiran ekonomi  dari dua ilmuan Muslim yaitu Abu Ubaid dan Abu Ishaq Al-Syatibi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas adapun rumusan masalahnya yaitu :
a.       Bagaimana Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid?
b.      Bagaimana Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ishaq Al-Syatibi?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas adapun tujuan dari pemaparan masalah ini yaitu:
a.       Untuk Mengetahui Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
b.      Untuk Mengetahui Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ishaq Al-Syatibi

D.  Manfaat

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan pembahasannya adapun manfaat yang bisa diambil bagi penulis dari penulisan makalah ini yaitu semakin bertambahnya pengetahuan mengenai sejaran pemikiran ekonomi Islam para cendekiawan Muslim.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid (154-224 H)

a.      Riawayat Hidup

Abu ubaid yang dikenal sebagai bapak ekonomi Islam pertama. Nama lengkapnya adalah Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia dilahirkan pada tahun 150 H di kota Harrah, Khusuran, sebelah barat laut Afghanistan. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya karena berkembangnya madzhab Hanafi, dan pada usia 20 Tahun, Abu Ubaid pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya, antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadis, dan fiqh. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Malik, Gubernur Thugur pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadhi (hakim) Di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab AL-amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di Mekkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqh (fuqaha) terkemuka pada masa hidupnya. Selama menjabat qadhi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertahanan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa Arab  juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut.
Karena sering terjadi pengutipan kata kata Amr dalam Kitab Al-Amwal, tampaknya, pemikiran-pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn Amr-Al-Awza’i, serta ulama-ulama Suriah lainnya semasa ia menjadi qadhi di Tarsus. Kemungkinan ini, antara lain, dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap permasalahan militer, politik, dan fiskal yang dihadapi pemerintah daerah Tarsus.
Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya. Sekalipun demikian, Kitab Al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya daripada Kitab Al-Kharaj dalam hal kelengkapan hadis dan pendapat para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Dalam hal ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika polirik suatu pemerintahan daripada teknik efisiensi pengelolaannya.

b.   Pemikiran Ekonomi

Filosofi yang dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat profesional dan teknokrat yang bersandar pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradab, pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial.
Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendikiawan muslim yang terkemuka pada awal abad ketiga Hijriah (abad Kesembilan Masehi) yang menetapkan revitilisasi sistem perekonomian berdasarkan Al-Quran dan hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan intitusinya. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio politik-ekonomi islami, yang berakar dari ajaran Al-Quran dan hadis mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid.
Berkat pengetahuan dan wawasannya yang begitu luas dalam beberapa bidang ilmu, beberapa ulama Syafi’iyah dan Hanabillah mengklaim bahwa Abu Ubaid berasal dari madzhab mereka, walaupun fakta-fakta menunjukan bahwa Abu Ubaid adalah seorang fuqaha yang independen. Dalam Kitab Al-Amwal, Abu Ubaid tidak sekalipun menyebut nama Abu Abdullah Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i maupun nama Ahmad ibn Hanbat sebaliknya, Abu Ubaid sering mengutip pandangan Malik ibn Anas, salah seorang gurunya yang juga guru Asy-Syafi’i. Di samping itu, ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad ibn Al-Hasan Asy-Syaibani, tetapi hampir seluruh pendapat mereka ditolaknya.
Di sisi lain, Abu Ubaid pernah dituduh oleh Husain ibn Ali Al-Karabisi sebagai seorang plagiator terhadap  karya-karya Asy-Syafi’i,  termasuk dalam hal penulisan Kitab Al-Amwal. Akan tetapi, kebenaran hal ini sangat sulit untuk dibuktikan mengingat Abu Ubaid dan Asy-Syafi’i (termasuk Ahmad ibn Hanbal) pernah belajar dari ulama yang sama, bahkan mereka saling belajar satu sama lainnya. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika terdapat kesamaan dalam pandangan-pandangan antara kedua tokoh besar tersebut, sekalipun kadang-kadang Abu Ubaid mengambil posisi yang bersebrangan dengan Asy-Syafi’ii dengan tanpa menyebut nama.
Secara utuh, pemikiran Abu Ubaid tertuang dalam Kitab Al-Amwal, kitab ini dibagi ke dalam beberapa bagian dan bab yang tidak proporsional isinya. Pada bab pendahuluan, Abu Ubaid secara singkat membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahannya, dengan studi khusus mengenai kebutuhan terhadap suatu pemerintahan yang adil. Pada bab selanjutnya yang merupakan bab pelengkap, kitab ini menguraikan berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam bab ini, Abu Ubaid memberikan prioritas pada pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah, seperti fai dan bagoan khums serta pengakolasiannya, baik pada masa Rasulullah SAW. Maupun setelahnya. Oleh karena itu, pada bagian-bagian berikutnya, ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar pemikiran dalam kitab ini ketika membahas tiga sumber utama penerimaan negara, yakni fai, khums, dan shadaqah, termasuk zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepada masyarakat.
Tiga bagian pertama dari Kitab Al-Amwal meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan fai. Dalam hal ini, menurut Abu Ubaid, fai juga mencakup pendapatan negara yang berasal dari jizyah, kharaj, dan ushr, tetapi ushr dibahas dalam bab shadaqah. Adapun ghanimah, (harta tampasan perang) dan fidyah (tebusan untuk tawanan perang), pembahasannya masuk dalam bab fai.
Pada bagian keempat, sesuai dengan perluasan wilayah Islam pada masa klasik, Kitab Al-Amwal berisi pembahasan mengenai pertahanan, administrasi, hukum internasionall, dan hukum perang. Setelah bagian kelima membahas distribusi pendapatan, bagian keenam kitab tersebut membhas ihya al-amwat, dan hima. Dua bagian terakhir ini masing-masing disediakan untuk membahas khums dan shadaqah.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Kitab Al-Amwal secara khusus memfokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance) sekalipun mayoritas materi yang ada di dalamnya membahas permasalahan administrasi pemerintahan secara umum. Al-Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum pertahanan serta hukum administrasi dan hukum internasional. Oleh karena itu, pada dua abad pertama sejak Islam diturunkan, kitab ini menjadi salah satu referensi utama tentang pemikiran hukum ekonomi di kalangan para cendikiawan muslim.
Secara umum, pada masa hidup Abu Ubaid, pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang paling baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan, dan sumber utama pendapatan negara. Hal ini menjadikan masalah perbaikan sektor pertanian menjadi isu utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi dalam pengertian modern. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan sasarannya pada persoalan legitimasi sosio-politik-ekonomi yang stabil dan adil.
Kitab Al-Amwal memberikan informasi penting mengenai kesuksesan suatu pemerintahan dalam menerapkan berbagai kebijakan, sepertinya pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab yang berhasil membangun dasar-dasar sistem perpajakan dan pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang berhasil memperbaiki serta menata ulang sistem perpajakan yang telah sekian lama rusak. Jika merujuk pada format dan metodologi Kitab Al-Amwal, di dalam setiap bab, Abu Ubaid menampilkan berbagai ayat, hadis nabi, serta pendapat para sahabat dan tabi’in bersama-sama dengan pendapat para fuqaha. Dalam hal ini, sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang muhaddits, Abu Ubaid melakukan serangkaian penelitian terhadap hadis-hadis, baik dari sisi sanad maupun matan. Di sisi lain, kadang-kadang ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasinya sebagai pengganti teks tersebut. Ia juga membahas beberapa hal yang masih diragukan serta menjelaskan berbagai istilah asing jika ada.
Di samping seorang ahl al-hadits, Abu Ubaid juga merupakan seorang Ahl Ar-Ra’y. Dalam setiap isu, Abu Ubaid selalu mengacu pada hadis-hadis serta interpretasi dan pendapat para ulama yang terkait, kemudian melakukan kritik terhadapnya dengan melakukan evaluasi terhadap kekuatan ataupun kelemahannya. Setelah itu, ia akan memilih salah satu pendapat yang ada atau, jika ada, melakukan ijtihad sendiri yang didukung oleh hadis-hadis. Kadang-kadang, ia juga akan membiarkan para pembaca kitabnya untuk bebas memilih, apakah mengikuti pendapatnya atau dari salah satu pendapat alternatif yang ia anggap valid. Abu Ubaid yang dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena keandalannya dalam melakukan istinbath hukum dari Al-Quran dan Hadis, dapat menghasilkan suatu karya yang berkaitan dengan perpajakan, pada masa awal pembentukan mazhab-mazhab.
Jika isi kitab Al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid, pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendeketan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara; jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid yang lahir pada masa keemasan dinasti Abbasiyah menitikberatkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu kebijakan atau wewenangnya dalam memutuskan suatu perkara selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan kepentingan kaum muslim. Berdasarkan hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun langsung kepada para penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah. Jika tidak, kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Di samping itu, Abu Ubaid mengakui otoritas penguasa dalam memutuskan, demi kepentingan publik, apakah akan membagikan tanah taklukan kepada para penakluk atau membiarkan kepemilikannya tetap pada penduduk setempat. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa seorang penguasa yang adil dapat memperluas berbagai batasan yang telah ditentukan apabila kepentingan publik sangat mendesak.
Di sisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain, perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik. Ketika membahas tarif atau persentase untuk kharaj dan jizyah, ia menyinggung pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk nonmuslim yang dalam terminologi finansial modern disebut sebagai capacity to pay dengan kepentingan golongan muslim yang berhak menerimanya. Kaum muslim dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk nonmuslim melebihi apa yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.
Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarif pajak kontraktural tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi ketidakmampuan membayar. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa jika seorang penduduk non muslim mengajukan pemohonan bebas utang dan dibenarkan oleh saksi muslim, barang perdagangan penduduk non muslim tersebut yang setara menekankan kepada petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushyr, atau zakat untuk tidak menyiksa masyarakatnya, dan di sisi lain, ia menekankan masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan sepantasnya. Dengan kata lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi dan penindasan dalam perpajakan serta upaya penghindaran pajak (tax evasion).
Pembahasan mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai.  Abu Ubaid menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum badui, kaum urban (perkotaan) ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administratif dari semua kaum muslim; memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta, mereka menggalakkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar Al-Quran dan Sunnah serta penyebaran keunggulannya; memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud, memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah.
Singkatnya, di samping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Karakterisistik tersebut hanya diberikan oleh Allah SWT. Kepada kaum urban (perkotaan). Kaum badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar fai sebanyak kaum urban. Dalam hal ini, kaum badui tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dan negara. Mereka memiliki hak klaim, sementara terhadap penerimaan fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi kritis, yakni ketika terjadi invasi musuh, kemarau panjang (qa’ihah), dan kerusuhan sipil (faiq). Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
Di sisi lain, ia memberikan hak yang sama dengan orang dewasa kepada anak-anak perkotaan terhadap tunjangan, walaupun kecil, yang berasal dari pendapatan fai. Pemberian hak ini dilakukan mengingat anak-anak tersebut merupakan penyumbang potensial terhadap kewajiban publik terkait. Lebih lanjut, Abu Ubaid mengakui adanya hak para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan untuk tunjangan.
Pandangan Abu Ubaid tersebut dengan jelas membedakan antara gaya hidup kaum badui dan kultur menetap kaum urban dan membangun fondasi masyarakat muslim berdasarkan martabat kaum urban, solidaritas serta kerja sama merasakan komitmen dan kohesi sosial berorientasi urban, vertikal dan horizontal, sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio-politik dan makroekonomi. Mekanisme tersebut meminjam banyak dari umiversitas Islam, membuat kultur perkotaan lebih unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Sekalipun demikian, cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapt mengambil langkah selanjutnya serta berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labor), surplus produksi, pertukaran, dan lainnya yang berkaitan dengan organisasi perkotaan untuk kerja sama. Sebenarnya, dalam hal ini, analisis Abu Ubaid fokus dalam memelihara dan menjaga keseimbangan antara hak dengan kewajiban masyarakat.
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit, Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan, seperti iqta’ tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, merupakan insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan dikenai denda kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

c.       Uang antara Fungsi dan Alat

Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan :
“ Hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun, kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk membeli sesuatu (infaq).”
                        Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengnai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apa pun, kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampaknya, Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang  lainnya. Jika kedua benda tersebut juga digunakan sebagai komoditas, nilai dari keduanya akan dapat berubah-ubah pula. Karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang barang lainnya. Di samping itu, sekalipun tidak menyebutkannya secara jelas, Abu Ubaid secara implisit mengakui adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai ( store of value) ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat.
Salah satu ciri khas Kitab Al-Amwal di antara kitab-kitab lain yang membahas keuangan publik (public finance) adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang bisa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau denda, dalam satu bab khusus. Dalam bab ini, Abu Ubaid juga menceritakan usaha Khalifah Abdul Al-Malik ibn Marwan dalam melakukan standardisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.
                        Jelasnya, pemikiran Abu Ubaid dalam kitabnya ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya harus dihindari negara agar dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi hak kepemilikan pribadi agar tidak disalah gunakan sehingga tidak mengganggu atau mengurangi manfaat bagi masyrakat umum.
Pandangan-pandangan Abu Ubaid juga merefleksikan perlunya memelihara dan mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban masyarakat, rasa persatuan, dan tanggung jawab bersama. Di samping itu, Abu Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.

B.   Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ishaq Al-Syatibi (w. 790 H)

a.      Riwayat Hidup
Al-Syatibi bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku arab Lakhmi. Nama Al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarnganya, syatibah (xatiba dan jativa), yang terletak di kawasan spanyol bagian timur.
Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat islam setempat karena Granada menjadi pusat  kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada.
Susasana ilmiah yang berkembang dengan baik di ibukota tersebut sangat menguntungkan bagi Al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk  ‘ulum al-wasa’il (metode)  maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa arab dari Abu Abdillah Muhammad Ibn Fakhkhar Al-Biri, Abu Qasim Muhammad Ibn Ahmad Al-Syatibi, dan Abu Ja’far Ahmad Al-Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim Ibn Bina dan Syamsuddin Al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu  Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Al- Syarif Al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar Al-Qarsyi Al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat. Disamping bertemu langsung, ia juga melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah Ibn Ibad Al-Nafsi Al-Rundi.
 Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, Al-Syatibi lebih berminat unutk mempelajari Bahasa Arab dan, khususnya, ushul fiqih. Ketetarikannya terhadap ilmu ushul fiqih karena menurutnya meteodelogi dan falsafah fiqih islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekutan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi kelimuannya dengan mengejarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya Ibn Asim, Abu Bakar Al-Qadi dan Abu Abdillah Al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti syarh jalil ‘ala al-khulashah fi al-nahw dan ushul al-nahw dalam berbagai bahasa arab dan al-muwafaqat fi ushul al-syari’ah dan al-i’tisham dalam bidang ushul fiqih. Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 (1388 M).
b.      Konsep Maqhasid Al-Syariah
Sebagai sumber utama agama islam, al-Quran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Al-Quran dalam tiga bagian besar, yaitu akidah akhlak dan syariah.  Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan aspek hukum yang muncul  dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum islam diibagi menjadi dua hal, yakni ibadah ( habl min Allah) dan muamalah (habl min al-Nas).
Al-Quran tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia hanya mengandung dasar-dasar atau prinsip-prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam islam. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, Nabi Muhammad Saw. Menjelaskan melalui berbagai hadisnya. Kedua sumber inilah (Al-Quran dan hadis nabi) yang kemudian dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama  di bidang muamalah. Dalam kerangka ini, Al-Syatibi mengemukakan konsep Maqashid Al-Syariah.
Secara bahasa, Maqhasid Al-Syariah terdiri dari dua kata, yakni maqhasid dan  al-syari’ah. Maqhasid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan Al-Syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan,
Sesungguhnya syariah bertujuan unutk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”
Dari pengetian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakann bahwa  tidak satupun hukum Allah Swt. yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini diartikannya  sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.
Dengan demikian,kewajiban-kewajiban dalam syariah  menyangkut perlindungan maqashid al-syaria’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemashlahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan  mashalih; meupun dengan cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.
1.    Pembagian Maqashid Al-Syariah
Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaiatu dharuruyah, hajiyat dan tahsiniyat.
·  Dharuriyat
Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia  di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan hartadapat dilakukan dengan cara memelihara  eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak . sebagai contoh, penuaian rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri masing-masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
·  Hajiyat
Jenis maqashid ini dinamakan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik  terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad mudharabah, musaqat, muzara’ah dan bai salam, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan unutk memudahkan kehidupan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.
·  Tahsiniyat
Tujuan jenis maqhasid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk meneghilangkam atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya berindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan dalam berbicara dan bertindak  serta penegmbangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.
2.                       Korelasi antara Dharuriyat, Hajiyat, Dan Tahsiniyat
Dari hasil penelaahannya secara mendalam, Al-Syatibi menyimpulkan korelasi antara dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat sebagai berikut :
·      Maqhasid dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
·      Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
·      Sebaliknya, kerusakan pada maqashid  hajiyat dan maqashid tahsiniyat  tidak dapat merusak maqashid dharuriyat.
·      Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqashid dharuriyat.
·      Pemeliharaan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat diperlakukan maqashid dharuriyat secara tepat.
Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqashid tersebut tidak dapat dipisahkan. Tampaknya, bagi Al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurnaan lagi bagi tingkat dharuriyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
Pengklasifikasian yang dilakukan Al-Syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Disamping itu, pengklasifikasian tersebut juga mengacu pada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan allah swt. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia,
Berkenaan dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujudnya aspek dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai muskallaf  dalam merealisasikannya. Adapun pengebaian terhadap aspek tahsiniyat mengakuibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok  tidak sempurna. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa  segala aktivitas  atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan  jika bertentangan dengan maqashid  yang lebih itnggi (dharuriyat  dan hajiyat).
c.       Beberapa Pandangan Al-Syatibi di Bidang Ekonomi
·  Objek kepemilikan
Pada dasarnya, Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek  kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorangpun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu : air yang tidak dapat  dijadikan sebagai objek kepemilikkan, seperti air sungi dan oase; dan air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli  atau termasuk bagian dari  sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa  tidak ada hak kepemilikkan yang dapat diklaim terhadap sungai  dikarenakan adanya  pembangunan dam.
·  Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkanya kepada baitul mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.
d.      Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Dari pemaparan konsep maqashid al-syariah di atas, terlihat jelas bahwa syariah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Al-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti didefinisikan syariah harus  diikuti  sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi  umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs).
Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhdap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fullfiment needs) dengan sumber daya alam tersedia.
Bila ditelaah dari sudut pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep maqashid  al-syariah mempunyai relevansi  yang begitu erat dengan konsep motivasi. Seperti yang telah kita kenal,  konsep motivasi lahir seiring  dengan munculnya persoalan ”mengapa” seseorang berprilaku. Motivasi itu sendiri didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan, dan sebagainya. Bila dikaitkan dengan konsep  maqashid al syari’ah, jelas bahwa, dalam pandangan Islam. Motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan  hidup di dunia dan di akhirat.
Kebutuhan  yang belum  terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang individu akan terdorong untuk berprilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya,  baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.
Menurut Maslow, apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal menjadi prioritas. Dengan kata lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika  kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari:
·  Kebutuhan fisioligi ( Psysiological Needs), mencakup kebutuhan dasar  manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan mengeyampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.
·  Kebutuhan keamanan (Safety Needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
·  Kebutuhan sosial ( Social Needs), mencakup  kebutuhan akan cinta, kasihsayang, dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
·  Kebutuhan akan penghargaan (Esteem Needs), mencakup kebutuhan terhadap penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri dan presrise seseorang.
·  Kebuthan Aktualisasi Diri ( Self-Actualization Needs), mencakup kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini merupakan tingkat kebuthan yang paling tinggi.
Dalam dunia manajemen, kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan Maslow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikut:
·      Pemenuhan kebutuhan fisioligi antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah  atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
·      Pemenuhan kebutuhan keamanan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, kemanan kerja dan liingkungan kerja yang  aman.
·      Pemenuhan kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerja sama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi sosial.
·      Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan signifikansi aktivitas pekerjaan dan pengakuan publik terhadap  performance yang baik.
·      Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan berkreativitas dan tantangan pekerjaan.
Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow di atas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqashid al-syariah. Bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleh Al-Syatibi mempunyai keunggulan komperatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian Maslow. Seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan   fitrah manusia dan menjadi  faktor penentu dalam mengerahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dalam perspektif Islam, berpijak pada doktrin kegamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.


 BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
             Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi  atau yang lebih popular dengan sebutan Abu Ubaid memiliki pemikiran sejarah yang berawal dari respon terhadap  berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi. Ia mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Abu Ubaid juga menetapkan revitilasi sistem perekonomian berdasarkan Al-Quran dan Hadits melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan intuisinya. Dengan pemikiran yang luas Abu Ubaid berhasil menumpahkan segala pemikiran dan kritiknya dalam suatu kitab yang disebut kitab Al-Amwal. Kitab ini berisi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan  ekonomi pemerintah sampai gaya hidup kaum badui dan  kaum urban. selain itu Abu Ubaid berpendapat bahwa Uang memiliki dua fungsi, yakni sebagai standar nilai pertukaran dan media pertukaran.
    Sejarah Pemikiran Ekonomi menurut Abu Ishak al-Syatibi yakni berawal dari ketertarikannya terhadap pelajaran Ushul Fiqih yang kemudian memunculkan konsep Maqhasid al-Syariah, dalam kosep ini menempatkan kemaslahatan umat sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh setiap individu. Konsep ini terdiri dari tiga bagian yaitu Dharuriyat, Hajiyat dan Tahsiniyat,  dimana Dharuriyat menjadi pokok utama sedangkan Hajiyat dan Tahsiniyat hanya menjadi pelengkap dari bagian Dharuriyat. Selain melahirkan konsep Maqhasid al-Syariah, al-Syatibi memiliki pandangan sendiri berkaitan dengan Objek kepemilikan dan Pajak yaitu ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Contohnya seperti Air Sungai, Oase. Dan pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B. (2010). Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, A. A. (2004). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja grafindo Persada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar