Selasa, 31 Mei 2016

Makalah: Ta'wil Al-Quran

TA’WIL AL QURAN
karya : Erwin, Evi, Fadilah, Fahmi

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah atau keagamaan.
Dahulu sebagian ‘ulama merasa puas dengan menyatakan “Allahu a’lam bi muradihi” (Allah maha mengetahui maksudnya). Pernyataan demikian tidak memuaskan banyak pihak, terutama dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti ini berubah dan para mufassir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta’wil, tamsil atau metafora. Memang, literalisme (terjemah harfiah) seringkali mempersempit makna, berbeda dengan pen-ta’wil­-an yang memperluas namun secara bersamaan tidak menyimpang darinya.
Karena itu, dalam makalah ini penulis membahas ta’rif ta’wil atau definisi ta’wil, perbedaan antaranya dengan tafsir dan beberapa contoh ta’wil.
B.       Rumusan Masalah Penulisan
1.         Apa ta’rif (definisi) ta’wil Al-Quran?
2.         Apa syarat ta’wil?
3.         Apa perbedaan tafsir dengan ta’wil ?
4.         Apa contoh-contoh ta’wil al-Quran?
C.      Tujuan Penulisan
1.         Untuk mengetahui apa tarif (definisi) Ta’wil Al-Quran.
2.         Untuk mengetahui syarat ta’wil
3.         Untuk memahami perbedaan Tafsir dengan Ta’wil Al-Quran.
4.         Untuk mengetahui contoh-contoh ta’wil al-Quran.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ta’wil
Secara Bahasa:
Kata Ta’wil diambil dari kata “aul”, yang bermakna kembali dan berpaling. Dilafadhkan dengan shighat ta’wil untuk mem-faedahkan ta’diyah (supaya berarti mengembalikan). Ada juga yang mengatakan diambil dari kata “ail” yang berarti “memalingkan”, yakni: memalingkan ayat dari makna yang dhahir kepada suatu makna yang dapat diterima olehnya. Atau akibat (al-‘aqîbah) dan kesudahan (al-mashîr) (Az-Zarkasyi, Al-Burhan, II/164). Namun, menurut Az-Zarqani, makna bahasa yang paling masyhur untuk ta’wil adalah sinonim dengan tafsir, yaitu menjelaskan (bayân)  (Manâhil al-‘Irfân, II/4).
Secara Istilah:
Menurut sebagian ulama:
“Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya (tujuannya), yakni menerangkan apa yang dimaksud dari padanya”
Sebahagian yang lain menyatakan:
Ta’wil ialah: menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafazh
Menurut As-Said Al-Jurjany (w.816H):
Ta’wil ialah: memalingkan lafazh dari makna yang dzhahir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang muhtamil (makna lain yang masih bisa dikandungnya) atau tidak berlawanan dengan Al-Quran dan As-Sunnah[1]
Menurut Al-Amidi:
Ta’wil adalah mengartikan kata bukan ke makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, karena adanya dalil yang menghendakinya.[2] 
B.       Syarat Ta’wil
Al-Sathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta’wil-an ayat Al-Quran:
1.         Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
2.         Arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab Klasik.
Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar dibandingkan syarat yang dikemukakan oleh kelompok Al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.
Dalam syarat Al-Syatibi diatas, terbaca bahwa popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh. Al-Syahibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigu/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidang bertentangan satu dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta’wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna pen-ta’wil­-an dengan kata yang di-ta’wil-kan. Karena itu, kaja “Jin” yang berarti “sesuatu yang tertutup”, diartikan oleh muridnya, Rasyid Ridha, sebagai kuman yang tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata). Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi’ yang secara tegas menyatakan bahwa “pengertian kata jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang makhluk halus yang ‘tampak’ pada saat ketakutan seseirang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup segala jenis bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau, dan yang  berada diluar alam manusia di mana kita berada.
Ta’wil dalam prakteknya tidak bisa didasarkan hanya pada pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat apalagi jika bertentangan dengan kaidah bahasa arab. Adapun menurut ‘ulama ushul agar hasil dari ta’wil bisa diterima (maqbul) dan shahih maka harus memenuhi 4 syarat, yaitu:
1.         Takwil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syariat, atau makna ‘urfi (makna kebiasaan orang Arab). Misalnya, takwil kata qurû‘ (dalam QS al-Baqarah [2]: 228) dengan arti haid atau suci adalah takwil sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk qurû’. Takwil yang tidak sesuai makna bahasa, syariat, atau ‘urfi, tidak diterima.[3]
2.         Takwil harus berdasarkan dalil yang sahih dan râjih (kuat), misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus (takhshîsh), atau memberikan batasan (taqyîd) nash mutlak berdasarkan dalil yang men-taqyîd-kan. Karena itu,  takwil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tetapi dalilnya marjûh (lemah), atau musawi (sederajat kekuatannya) dengan kata yang ditakwil, tidak diterima.[4]
3.         Kata yang ada memang memungkinkan untuk ditakwil (qâbil li at-ta’wîl). Misalkan, katanya adalah kata umum yang dapat di-takhshîsh, atau kata mutlak yang dapat diberi taqyîd, atau kata bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna majazi (metaforis), dan sebagainya. Karena itu, jika takwil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima.[5]
4.         Orang yang menakwil memiliki kapasitas keilmuan untuk melakukan takwil (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/38). Karena itu, takwil yang dilakukan orang bodoh (jâhil) dalam bahasa Arab atau ilmu-ilmu syariat (al-ma‘ârif al-syar‘îyyah) tidak dapat diterima. Sebab, orang yang hendak melakukan takwil haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariat.[6]
Ta’wil sebagaimana dikemukakan diatas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehiduoan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.
C.      Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Para mufassirin telah berselisih pendapat dalam memberikan makna tafsir dan ta’wil. Menurut Abu ‘Ubaidah: “Tafsir dan Ta’wil satu makna”. Pengertian tersebut kemudian dibantah oleh segolongan ‘Ulama. Di antaranya Abu Bakar ibn Habib An Naisabury.
Menurut Az-Zuhaili, tafsir merujuk pada makna lahiriah, sedangkan ta’wil mengacu pada makna lain yang bukan makna lahiriah, yang masih dapat dikandung ayat, berdasarkan dalil.[7] Dengan ringkas An-Nabhani mengatakan, tafsir merupakan penjelasan apa yang dimaksud oleh kata  (bayân al-murâd bi al-lafzh), sedangkan ta’wil merupakan penjelasan apa yang dimaksud oleh makna (bayân al-murâd bi al-ma’na)[8]
Menurut pendapat Ar Raghib Al Asfahany: “Tafsir lebih umum dari ta’wil. Dia lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat”
Menurut sebagian ‘Ulama: “Tafsir menerangkan makna lafadz yang tak menerima selain dari satu arti. Ta’wil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu lafadz yang dapat menerima banyak makna, lantaran ada dalil-dalil yang menghendaki”
Menurut Al-Maturidy: “Tafsir adalah menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat (lafadz) dan dengan sungguh-sungguh menetapkan: demikian yang dikehendaki Allah. Maka jika dalil yang membenarkan penetapan itu, dipandanglah tafsir yang shahih. Kalau tidak, dipandanglah tafsir yang berdasarkan fikiran yang tidak dibenarkan. Ta’wil ialah, mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima oleh ayat (lafadz), yakni salah satu muhtamilah, dengan tidak meyakini bahwa demikianlah yang sungguh-sungguh dikehendaki Allah.”
Menurut Abu Thalib Ats Tsa’laby: “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadz, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shayib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadz. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Ada juga ulama yang menerangkan, bahwa sesuata yang jelas diterangkan dalam Al-Quran atau Assunnah, itulah yang dinamai tafsir. Dan tidak boleh bagi seseorang menjalankan ijtihadnya lagi mengenai ayat-ayat atau sunnah-sunnah yang telah terang tegas itu. Dan sesuatu yang diistinbathkan oleh ‘ulama-ulama yang mengetahui baik ilmu-ilmu alat, itulah yang dinamai ta’wil.
Serta menurut sebagian ulama: Tafsir berpaut dengan riwayat, sedang ta’wil berpaut dengan dirayat. Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan dari Sahabat, sedang ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang/ tata aturan bahasa ‘Arab.
Menurut Al-Baghawi: “Tafsir ialah memperkatakan sebab-sebab turun ayat, keadaan-keadaannya,dan kisah-kisahnya.”
Maka  mengenai urusan-urusan ini tidak dibolehkan kita mempergunakan selain dari sam’i (pendengaran = nukilan) saja, sesudah dibenarkan datangnya nukilan itu dengan jalan akal.
Adapun ta’wil adalah: “memalingkan ayat kepada sesuatu makna yang sesuai dengan makna yang sebelumnya dan makna yang demikian itu diterima pula oleh ayat, serta tiada bersalahan dengan susatu ayat, atau sunnah, yang dihasilkan oleh istinbath.”
Ibnu Jarir mempergunakan kata ta’wil dengan ma’na tafsir. Adapun ta’rif ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Maraghy dalam bukunya Al-Akhlak wal Wajibat:
Tafsir ialah: tersembunyi makna ayat kepada sebagian pendengar maka apabila engkau syarahkan lafadz-lafadzny dari jurusan lughat (bahasa), nahwu dan balaghah, difahamilah oleh pendengar itu dengan baik dan tenanglah jiwanya kepada makna tersebut. Adapun ta’wil, iala: ayat mempunyai beberapa makna yang semuanya dapat diterima, dia ragu-ragu tak tahu mana yang harus dipilihnya. Karena inilah ta’wil itu banyak sekali dipakai pada ayat mustasyabihat, sedang tafsir banyak dipakai pada ayat-ayat muhkamat
Ayat-ayat Mutasyabihat ialah: ayat-ayat yang tidak terang atau jelas maknanya. Adapun ayat-ayat muhkamat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas penegrtian yang dimaksudkannya.
Maka kebanyakan ta’wil dilakukan para mufassirin mengenai aya-ayat mutasyabihat. Sedangkan ayat-ayat muhkamat tidak memmerlukan ta’wil, cukup dengan tafsir (penafsirannya saja)
Dalam pandangan ‘ulama-ulama salaf dan ulama mutaqaddimin (terdahulu) jumlah ayat-mutasyabihat tidak terlalu banyak karena bagi mereka ayat-ayat tersebut masih sanggup difahami dengan jelas. Dahulu, yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat hanyalah yang telah diterangkan dalam Al-Quran tentang ke-mutasyabihan­-nya. Adapun pada masa sekarang seiring kekuatan pemahaman bahasa Arab yang semakin melemah maka jumlah ayat mutasyabihat dipandang bertambah menjadi lebih banyak.
Kebanyakan ayat yang dikatakan mutasyabihat oleh mutaakhirin atau generasi belakangan ini lebih disebabkan oleh melemahnya kemampuan memahami bahasa arab. Serta perlu dipertegas, bahwa ayat-ayat mutasyabihat kebanyakan mengenai kepercayaan dan urusan akhirat, sangat jarang yang berkaitan dengan urusan keduniaan.
Menurut ‘ulama bayan, tafsir itu ialah menghilangkan ke-musykil-an (kesulitan) faham pada sesuatu pembicaraan dengan menambah perkataan.


D.      Contoh Ta’wil al-Quran
Misalnya firman Allah S.W.T,
¨bÎ) y7­/u ÏŠ$|¹öÏJø9$$Î7s9 ÇÊÍÈ  
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.”[9]
Tafsirnya ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan keadaan hamba-Nya. Adapun ta’wilnya adalah menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan yang perlu.
Misalnya dalam firman Allah:
( ßl̍øƒä ¢ptø:$# z`ÏB ÏMÍhyJø9$#
Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati”.[10]
Maka jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari telur, dinamailah ia tafsir. Dan  jika dikatakan bahwa yang dikehendaki, mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, yang beriman dari yang kafir, dinamakanlah ini ta’wil.
Misalnya dalam firman Allah:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ[11]  
lâ rayba fîhi (tidak ada keraguan di dalamnya). Jika diartikan, “lâ syakka fîhi (tidak ada kebimbangan di dalamnya),” maka ini adalah tafsir. Jika diartikan, “tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman” maka ini adalah takwil.
Misal lainnya, ta’wil Imam Syafi’I atas firman Allah:
Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( [12]
Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya.
Frasa illâ zhahara minhâ asalnya bermakna umum (kecuali yang tampak darinya). Lalu Imam Asy-Syafi’i menakwilkannya dengan, “illâ al-wajh wa al-kaffayn” (kecuali wajah dan dua telapak tangannya). Takwil ini berdasarkan hadis yanhg dituturkan Aisyah ra. bahwa Nabi saw. pernah berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar:
Hai Asma’, sesungguhnya wanita itu, jika sudah haid, tidak pantas dilihat darinya kecuali ini dan ini (Nabi saw. menunjuk pada wajah dan kedua telapak tangannya). (HR Abu Dawud).        


BAB III
SIMPULAN

Ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu. Adapun perbedaan tafsir, ta’wil dan terjemah, yaitu:
1.      Tafsir.
Menerangkan makna lafazh yang telah diterima selama satu hari, selain itu juga menetapkan apa yang dikehendaki ayat yang dikehendaki Allah SWT.
1)      Pemakaiannya banyak terdapat pada lafal-lafal dan leksikologi (mufradat).
2)      Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
3)      Banyak berhubungan dengan riwayat.
4)      Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas, terang).
5)      Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki teks.
2.      Ta’wil
Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
Mengoleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa menyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah SWT serta menafsirkan batin lafazh.
1)      Penggunaannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimanat.
2)      Kebanyakan diistimbatkan oleh para ’ulama.
3)      Lebih banyak berhubungan dengan dirayah (nalar, aqliy).
4)      Digunakan dalam ayat-ayat mustasyibihat (samar, samar tidak jelas).
5)      Menerangkan hakikat yang dikehendaki.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Amidi, S. (1996). Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Juz III. Beirut, Libanon: Dar Al-Fikr.
Al-Jurjani. (t.thn.). At-Ta'rifat. Jeddah: Al-Haramayn.
Al-Qattan, M. K. (2001). Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa.
Ash-Shiddieqiy, H. (1992). Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafsir. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Asy-Syaukani. (t.thn.). Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min 'Ilm al-Ushul. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr.
Az-Zuhaili, W. (2001). Ushul al-Fiqh Al-Islami. Beirut, Libanon: Dar Al-Fikr.
Shihab, M. Q. (2013). Membumikan Al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan.




[1] Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Jeddah: Al-Haramayn, t.t., hal. 50
[2] Al-Amidi, Saifuddin.  Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Juz III, Beirut: Dar Al-Fikr, 1996, hal. 37, lihat juga pada Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t, hal 176.
[3] Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t, hal 177.
[4] Al-Amidi, Saifuddin.  Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam., Beirut: Dar Al-Fikr, 1996, Juz III , hal. 38
[5] Wahbah Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh Al-Islami, Beirut: Dar Al-Fikr, 2001, Juz I, hal. 314
[6] Ibid
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh Al-Islami, Beirut: Dar Al-Fikr, 2001, Juz I, hal. 313
[8] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran (Mabahits fi Ulum al-Quran), Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2001, hal. 461
[9] QS. Al-Fajr, ayat 14
[10] QS. Al-An’am, ayat 95
[11] QS. Al-Baqarah, ayat 2
[12] QS. An-Nur, ayat 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar