TA’WIL AL QURAN
karya : Erwin, Evi, Fadilah, Fahmi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang
menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika
pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah atau
keagamaan.
Dahulu sebagian ‘ulama merasa puas dengan menyatakan “Allahu
a’lam bi muradihi” (Allah maha mengetahui maksudnya). Pernyataan demikian
tidak memuaskan banyak pihak, terutama dewasa ini. Karena itu, sedikit demi
sedikit sikap seperti ini berubah dan para mufassir akhirnya beralih pandangan
dengan jalan menggunakan ta’wil, tamsil atau metafora. Memang,
literalisme (terjemah harfiah) seringkali mempersempit makna, berbeda dengan
pen-ta’wil-an yang memperluas namun secara bersamaan tidak menyimpang
darinya.
Karena itu, dalam makalah ini penulis membahas ta’rif
ta’wil atau definisi ta’wil, perbedaan antaranya dengan tafsir
dan beberapa contoh ta’wil.
B. Rumusan
Masalah Penulisan
1.
Apa ta’rif (definisi) ta’wil Al-Quran?
2.
Apa syarat ta’wil?
3.
Apa perbedaan tafsir dengan ta’wil ?
4.
Apa contoh-contoh ta’wil al-Quran?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa tarif (definisi) Ta’wil Al-Quran.
2.
Untuk mengetahui syarat ta’wil
3.
Untuk memahami perbedaan Tafsir dengan Ta’wil Al-Quran.
4.
Untuk mengetahui contoh-contoh ta’wil al-Quran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’wil
Secara Bahasa:
Kata
Ta’wil diambil dari kata “aul”, yang bermakna kembali dan berpaling.
Dilafadhkan dengan shighat ta’wil untuk mem-faedahkan ta’diyah (supaya berarti
mengembalikan). Ada juga yang mengatakan diambil dari kata “ail” yang berarti
“memalingkan”, yakni: memalingkan ayat dari makna yang dhahir kepada suatu
makna yang dapat diterima olehnya. Atau akibat (al-‘aqîbah) dan kesudahan (al-mashîr)
(Az-Zarkasyi, Al-Burhan, II/164). Namun, menurut Az-Zarqani, makna
bahasa yang paling masyhur untuk ta’wil adalah sinonim dengan tafsir, yaitu
menjelaskan (bayân) (Manâhil al-‘Irfân, II/4).
Secara Istilah:
Menurut sebagian ulama:
“Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya (tujuannya),
yakni menerangkan apa yang dimaksud dari padanya”
Sebahagian yang lain menyatakan:
“Ta’wil ialah: menerangkan salah satu makna yang dapat diterima
oleh lafazh”
Menurut As-Said Al-Jurjany (w.816H):
“Ta’wil ialah: memalingkan lafazh dari makna yang dzhahir kepada
makna yang muhtamil, apabila makna yang muhtamil (makna lain yang masih bisa
dikandungnya) atau tidak berlawanan dengan Al-Quran dan As-Sunnah”[1]
Menurut Al-Amidi:
Ta’wil adalah mengartikan kata bukan
ke makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, karena
adanya dalil yang menghendakinya.[2]
B. Syarat
Ta’wil
Al-Sathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta’wil-an
ayat Al-Quran:
1.
Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran
yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
2.
Arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab Klasik.
Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar dibandingkan
syarat yang dikemukakan oleh kelompok Al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti
yang dipilih tersebut harus telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab
pada masa awal.
Dalam syarat Al-Syatibi diatas, terbaca bahwa
popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh. Al-Syahibi
menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigu/musytarak (mempunyai
lebih dari satu makna yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian
teks tersebut selama tidang bertentangan satu dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad Abduh mengembangkan lagi syarat
pen-ta’wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan
faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna pen-ta’wil-an
dengan kata yang di-ta’wil-kan. Karena itu, kaja “Jin” yang
berarti “sesuatu yang tertutup”, diartikan oleh muridnya, Rasyid Ridha, sebagai
kuman yang tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata). Pendapat ini mirip
dengan pendapat Bint Al-Syathi’ yang secara tegas menyatakan bahwa “pengertian
kata jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami
tentang makhluk halus yang ‘tampak’ pada saat ketakutan seseirang di waktu
malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup segala jenis
bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau,
dan yang berada diluar alam manusia di
mana kita berada.
Ta’wil dalam prakteknya tidak bisa didasarkan hanya pada
pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks
ayat apalagi jika bertentangan dengan kaidah bahasa arab. Adapun menurut ‘ulama
ushul agar hasil dari ta’wil bisa diterima (maqbul) dan shahih maka harus
memenuhi 4 syarat, yaitu:
1.
Takwil yang dihasilkan harus sesuai
dengan makna bahasa Arab, makna syariat, atau makna ‘urfi (makna
kebiasaan orang Arab). Misalnya, takwil kata qurû‘ (dalam QS al-Baqarah
[2]: 228) dengan arti haid atau suci adalah takwil sahih, karena sesuai dengan
makna bahasa Arab untuk qurû’. Takwil yang tidak sesuai makna bahasa,
syariat, atau ‘urfi, tidak diterima.[3]
2.
Takwil harus berdasarkan dalil yang
sahih dan râjih (kuat), misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan
dalil pengkhusus (takhshîsh), atau memberikan batasan (taqyîd)
nash mutlak berdasarkan dalil yang men-taqyîd-kan. Karena itu, takwil
yang tanpa dalil, atau dengan dalil tetapi dalilnya marjûh (lemah), atau
musawi (sederajat kekuatannya) dengan kata yang ditakwil, tidak diterima.[4]
3.
Kata yang ada memang memungkinkan
untuk ditakwil (qâbil li at-ta’wîl). Misalkan, katanya adalah kata umum
yang dapat di-takhshîsh, atau kata mutlak yang dapat diberi taqyîd,
atau kata bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna majazi (metaforis),
dan sebagainya. Karena itu, jika takwil dilakukan pada nash khusus (bukan nash
umum), tidak diterima.[5]
4.
Orang yang menakwil memiliki
kapasitas keilmuan untuk melakukan takwil (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/38).
Karena itu, takwil yang dilakukan orang bodoh (jâhil) dalam bahasa Arab
atau ilmu-ilmu syariat (al-ma‘ârif al-syar‘îyyah) tidak dapat diterima.
Sebab, orang yang hendak melakukan takwil haruslah berkualifikasi mujtahid yang
memiliki bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariat.[6]
Ta’wil sebagaimana dikemukakan diatas, akan sangat membantu
dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehiduoan modern dewasa ini
dan masa-masa yang akan datang.
C. Perbedaan
Tafsir dan Ta’wil
Para
mufassirin telah berselisih pendapat dalam memberikan makna tafsir dan ta’wil. Menurut
Abu ‘Ubaidah: “Tafsir dan Ta’wil satu makna”. Pengertian tersebut kemudian
dibantah oleh segolongan ‘Ulama. Di antaranya Abu Bakar ibn Habib An Naisabury.
Menurut Az-Zuhaili, tafsir merujuk pada makna lahiriah,
sedangkan ta’wil mengacu pada makna lain yang bukan makna lahiriah, yang masih
dapat dikandung ayat, berdasarkan dalil.[7] Dengan ringkas An-Nabhani
mengatakan, tafsir merupakan penjelasan apa yang dimaksud oleh kata (bayân
al-murâd bi al-lafzh), sedangkan ta’wil merupakan penjelasan apa yang
dimaksud oleh makna (bayân al-murâd bi al-ma’na)[8]
Menurut
pendapat Ar Raghib Al Asfahany: “Tafsir lebih umum dari ta’wil. Dia
lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang ta’wil lebih banyak
dipakai mengenai makna dan susunan kalimat”
Menurut
sebagian ‘Ulama: “Tafsir menerangkan makna lafadz yang tak menerima selain dari
satu arti. Ta’wil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu lafadz yang
dapat menerima banyak makna, lantaran ada dalil-dalil yang menghendaki”
Menurut Al-Maturidy:
“Tafsir adalah menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat (lafadz) dan dengan
sungguh-sungguh menetapkan: demikian yang dikehendaki Allah. Maka jika dalil
yang membenarkan penetapan itu, dipandanglah tafsir yang shahih. Kalau tidak,
dipandanglah tafsir yang berdasarkan fikiran yang tidak dibenarkan. Ta’wil
ialah, mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima oleh ayat (lafadz),
yakni salah satu muhtamilah, dengan tidak meyakini bahwa demikianlah yang
sungguh-sungguh dikehendaki Allah.”
Menurut Abu Thalib Ats Tsa’laby: “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadz, baik makna hakikatnya
maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan jalan dan
Ash Shayib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadz. Jadi tafsir
bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan
hakikat yang dikehendaki.
Ada juga ulama yang menerangkan, bahwa sesuata yang
jelas diterangkan dalam Al-Quran atau Assunnah, itulah yang dinamai tafsir. Dan
tidak boleh bagi seseorang menjalankan ijtihadnya lagi mengenai ayat-ayat atau
sunnah-sunnah yang telah terang tegas itu. Dan sesuatu yang diistinbathkan oleh
‘ulama-ulama yang mengetahui baik ilmu-ilmu alat, itulah yang dinamai ta’wil.
Serta menurut sebagian ulama: Tafsir berpaut
dengan riwayat, sedang ta’wil berpaut dengan dirayat. Hal ini
mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan dari Sahabat,
sedang ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang/ tata
aturan bahasa ‘Arab.
Menurut Al-Baghawi: “Tafsir ialah memperkatakan sebab-sebab turun ayat, keadaan-keadaannya,dan
kisah-kisahnya.”
Maka mengenai
urusan-urusan ini tidak dibolehkan kita mempergunakan selain dari sam’i
(pendengaran = nukilan) saja, sesudah dibenarkan datangnya nukilan itu dengan
jalan akal.
Adapun ta’wil adalah: “memalingkan ayat kepada sesuatu
makna yang sesuai dengan makna yang sebelumnya dan makna yang demikian itu
diterima pula oleh ayat, serta tiada bersalahan dengan susatu ayat, atau
sunnah, yang dihasilkan oleh istinbath.”
Ibnu Jarir mempergunakan kata ta’wil dengan ma’na tafsir. Adapun
ta’rif ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Maraghy dalam bukunya Al-Akhlak wal
Wajibat:
“Tafsir ialah: tersembunyi makna ayat
kepada sebagian pendengar maka apabila engkau syarahkan lafadz-lafadzny dari
jurusan lughat (bahasa), nahwu dan balaghah, difahamilah oleh pendengar itu
dengan baik dan tenanglah jiwanya kepada makna tersebut. Adapun ta’wil, iala:
ayat mempunyai beberapa makna yang semuanya dapat diterima, dia ragu-ragu tak
tahu mana yang harus dipilihnya. Karena inilah ta’wil itu banyak sekali dipakai
pada ayat mustasyabihat, sedang tafsir banyak dipakai pada ayat-ayat muhkamat”
Ayat-ayat Mutasyabihat ialah: ayat-ayat yang
tidak terang atau jelas maknanya. Adapun ayat-ayat muhkamat ialah
ayat-ayat yang terang dan tegas penegrtian yang dimaksudkannya.
Maka kebanyakan ta’wil dilakukan para mufassirin
mengenai aya-ayat mutasyabihat. Sedangkan ayat-ayat muhkamat
tidak memmerlukan ta’wil, cukup dengan tafsir (penafsirannya saja)
Dalam pandangan ‘ulama-ulama salaf dan ulama
mutaqaddimin (terdahulu) jumlah ayat-mutasyabihat tidak terlalu banyak karena
bagi mereka ayat-ayat tersebut masih sanggup difahami dengan jelas. Dahulu,
yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat hanyalah yang telah diterangkan
dalam Al-Quran tentang ke-mutasyabihan-nya. Adapun pada masa sekarang
seiring kekuatan pemahaman bahasa Arab yang semakin melemah maka jumlah ayat
mutasyabihat dipandang bertambah menjadi lebih banyak.
Kebanyakan ayat yang dikatakan mutasyabihat
oleh mutaakhirin atau generasi belakangan ini lebih disebabkan oleh
melemahnya kemampuan memahami bahasa arab. Serta perlu dipertegas, bahwa
ayat-ayat mutasyabihat kebanyakan mengenai kepercayaan dan urusan
akhirat, sangat jarang yang berkaitan dengan urusan keduniaan.
Menurut ‘ulama bayan, tafsir itu ialah menghilangkan ke-musykil-an
(kesulitan) faham pada sesuatu pembicaraan dengan menambah perkataan.
D. Contoh
Ta’wil al-Quran
Misalnya firman Allah S.W.T,
¨bÎ) y7/u Ï$|¹öÏJø9$$Î7s9 ÇÊÍÈ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
mengawasi.”[9]
Tafsirnya ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam
mengintai-intai memperhatikan keadaan hamba-Nya. Adapun ta’wilnya adalah
menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan
yang perlu.
Misalnya dalam firman Allah:
( ßlÌøä ¢ptø:$# z`ÏB ÏMÍhyJø9$#
“Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati”.[10]
Maka jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh
ayat ini, mengeluarkan burung dari telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki,
mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, yang beriman dari yang kafir,
dinamakanlah ini ta’wil.
Misalnya dalam firman Allah:
lâ rayba fîhi (tidak ada keraguan di dalamnya).
Jika diartikan, “lâ syakka fîhi (tidak ada kebimbangan di dalamnya),”
maka ini adalah tafsir. Jika diartikan, “tidak ada keraguan di kalangan kaum
yang beriman” maka ini adalah takwil.
Misal lainnya, ta’wil Imam Syafi’I
atas firman Allah:
“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tampak darinya.”
Frasa illâ mâ zhahara minhâ
asalnya bermakna umum (kecuali yang tampak darinya). Lalu Imam Asy-Syafi’i
menakwilkannya dengan, “illâ al-wajh wa al-kaffayn” (kecuali wajah dan
dua telapak tangannya). Takwil ini berdasarkan hadis yanhg dituturkan Aisyah
ra. bahwa Nabi saw. pernah berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar:
Hai Asma’,
sesungguhnya wanita itu, jika sudah haid, tidak pantas dilihat darinya kecuali
ini dan ini (Nabi saw. menunjuk pada wajah dan kedua
telapak tangannya). (HR Abu
Dawud).
BAB
III
SIMPULAN
Ta’wil adalah pengertian
yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan
tertentu. Adapun perbedaan tafsir, ta’wil dan terjemah, yaitu:
1. Tafsir.
Menerangkan makna lafazh yang
telah diterima selama satu hari, selain itu juga menetapkan apa yang
dikehendaki ayat yang dikehendaki Allah SWT.
1)
Pemakaiannya
banyak terdapat pada lafal-lafal dan leksikologi (mufradat).
2)
Jelas
diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
3)
Banyak
berhubungan dengan riwayat.
4)
Digunakan
dalam ayat-ayat muhkamat (jelas, terang).
5)
Bersifat
menerangkan petunjuk yang dikehendaki teks.
2. Ta’wil
Menetapkan makna yang dikehendaki
suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
Mengoleksi salah satu makna yang
mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa menyakinkan bahwa itulah yang
dikehendaki Allah SWT serta menafsirkan batin lafazh.
1)
Penggunaannya
lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimanat.
2)
Kebanyakan
diistimbatkan oleh para ’ulama.
3)
Lebih
banyak berhubungan dengan dirayah (nalar, aqliy).
4)
Digunakan
dalam ayat-ayat mustasyibihat (samar, samar tidak jelas).
5)
Menerangkan
hakikat yang dikehendaki.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amidi, S. (1996). Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Juz III.
Beirut, Libanon: Dar Al-Fikr.
Al-Jurjani.
(t.thn.). At-Ta'rifat. Jeddah: Al-Haramayn.
Al-Qattan, M.
K. (2001). Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa.
Ash-Shiddieqiy,
H. (1992). Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafsir. Jakarta: PT.
Bulan Bintang.
Asy-Syaukani.
(t.thn.). Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min 'Ilm al-Ushul. Beirut,
Libanon: Dar al-Fikr.
Az-Zuhaili, W.
(2001). Ushul al-Fiqh Al-Islami. Beirut, Libanon: Dar Al-Fikr.
Shihab, M. Q.
(2013). Membumikan Al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan.
[2] Al-Amidi, Saifuddin. Al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam. Juz III, Beirut: Dar Al-Fikr, 1996, hal. 37, lihat juga
pada Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul,
Beirut: Dar Al-Fikr, t.t, hal 176.
[3] Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min
‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t, hal 177.
[8] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran (Mabahits fi Ulum
al-Quran), Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2001, hal. 461
Tidak ada komentar:
Posting Komentar